Dari kedua contoh di atas, kita bisa melihat ada 2 hal yang dikorbankan dari sifat serakah: kedamaian dan keadilan.
Menurut P.A. Tickle 2004 (The Seven Deadly Sins), seorang penulis Amerika yang berfokus pada isu-isu spiritualitas. Keserakahan dapat mengenakan jubah dengan banyak nama berbeda: serakah, tamak, rakus, kikir, nafsu ambisi yang melampaui batas, dan keinginan yang lepas kendali.
Akar dari keserakahan berasal dari kecanduan psikologis yang sejati. Keserakahan adalah suatu masalah kerena bermanifestasi sebagai siklus yang tidak pernah berakhir.
Bagaimana kita harus menghindari hal ini?
Kita harus menyadari sifat ini kemudian berkata pada diri kita sendiri "Oke, sekarang cukup!".
Memang seringkali kita tergoda untuk mencoba hal-hal baru atau melakukan usaha untuk hasil yang lebih baik. Â Sifat manusiawi kita membuat kita lupa atau tidak sadar dengan apa yang telah kita miliki: harta, pencapaian, dan kesuksesan. Â Hal-hal ini bisa merasuk hati dan pikiran.
Ya, serakah bukan hanya tentang harta tapi juga "pencapaian".  Manusia itu "bertumbuh" setiap saat, dalam pikirannya atas ide dan gagasan.  Tapi, kita harus ingat bahwa dalam sumber daya manusia itu juga terbatas.  Apakah ide dan gagasan itu masih dalam koridor kepantasan? Ini bisa dipertanyakan.  Manusia bisa menjadi egois bisa berpikir dirinya lebih baik dari orang lain, dari si A, si B atau bahkan dari semua orang. Penilaian ini  bisa bersifat subyektif karena apa yang "menurut kita" belum tentu berlaku bagi orang lain. Segala sesuatu diikat oleh batasan moral.
Jika kita terjebak dalam nafsu serakah, maka kita sampai akhir masa hidup kita akan selalu ingin lebih dan lebih, baik dalam materi atau non materi.
Marilah kita untuk berdialog dengan diri kita sendiri, di bagian mana atau dalam kapasitas apa diri kita bisa membangun dan diperlukan. Di bagian mana kita sudah dalam batas "cukup" dan di bagian mana kita tidak perlu lagi mencari lebih jauh.
Jangan sampai kita kehilangan kendali "Rem blong". Â Semakin cepat kita berjalan maka semakin sulit bagi kita untuk menemukan dimana batas bagi kita untuk berhenti.
Semua ada batasnya seperti kehidupan kita pun yang ada batasnya. Jangan sampai makna hidup yang sebenarnya telah kita miliki justru menjadi kabur atau hilang karena keserakahan. Sifat yang bisa memadamkan sinyal-sinyal positif dari tubuh dan jiwa kita.