Mohon tunggu...
Meike Juliana Matthes
Meike Juliana Matthes Mohon Tunggu... Freelancer - Mencintai alam, budaya, dunia literasi, dan olahraga

Menghargai perbedaan dan tertarik akan keanekaragaman dunia

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Musim Salju Kedua Kirana

16 Desember 2023   06:18 Diperbarui: 16 Desember 2023   06:40 279
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kirana menjawab dengan mengangguk, dia tidak benar-benar bisa memandang mata lelaki yang bertanya padanya waktu itu.

Kejadian itu di akhir bulan Februari lalu saat salju mulai meleleh, meninggalkan jejak lumpur-lumpur coklat di jalan raya karena digerus roda-roda kendaraan dan tapak-tapak pejalan kaki.   

Perkenalannya dengan Bagas, nama lelaki itu terjadi saat perbincangan dengan sekelompok mahasiswa Indonesia di luar negeri pada suatu acara santai sore di salah satu kedai kopi di kota Stuttgart.  Saat itu Bagas hadir di sana karena dia kebetulan sedang mengikuti seminar di kota itu.

Seperti biasa jika di lingkungan banyak orang, Kirana selalu menjadi pendengar setia.  Mereka sementara berbincang tentang alur politik di negara mereka, Indonesia.  Perdebatan-perdebatan terjadi.  Bagas pun tidak banyak bicara dan saat dia melakukannya, dengan intonasi yang santun dan tidak menggebu-gebu.  Politik yang dibenci Kirana terdengar bagai alunan musik lembut dan tidak lagi terlihat seperti monster. 

Dia ingat suatu masa saat dia masih kecil.  Kekacauan terjadi di negaranya.  Kekacauan yang diketahuinya kemudian saat dia telah dewasa adalah karena masalah politik.  Ada banyak huru-hara waktu itu, ada pemandangan api-api berkobar yang dilihatnya di TV. Sesudah itu banyak perusahaan yang ditutup, ayahnya kehilangan pekerjaan, pertengkaran-pertengkaran antara ayah dan ibunya mulai mewarnai hari-hari mereka sampai akhirnya berhujung perpisahan.  Kirana tersaruk-saruk mengikuti ibunya, pindah dari satu rumah sanak ke rumah sanak lainnya.  Sampai kejadian di malam itu.  Ibunya mengepak barang-barang mereka, membawa dia kemudian pergi menembusi malam yang basah akibat hujan seharian, meninggalkan rumah seorang yang dipanggilnya "Paman".

Ketekadan membawanya sampai di negeri ini: belajar dan untuk melupakan banyak hal.

Percakapannya dengan Bagas saat mereka bersama-sama berjalan ke stasiun subway masih terbayang.  Diikuti pertemuan hari berikut, di Sabtu pagi, berjalan-jalan di pasar tradisional yang digelar di halaman dan jalan-jalan di sekitar Balai Kota Stuttgart, Rathaus.

"Kita harus memelihara agar iklim bumi ini selalu terjaga supaya tanah, air, dan udara tetap bisa memberi kelangsungan bagi seluruh mahluk hidup."  Bagas berkata saat mereka berjalan melewati dagangan buah-buahan dan sayur-sayuran segar.

"Iya, di sini dan hampir di semua kota-kota besar ada yang namanya program Staubalarm.  Cara untuk mengontrol udara untuk tetap bersih.  Jika alat pengontrol itu menunjukan tinggi polusi maka kendaraan bermotor tidak diperkenankan masuk ke kota, melabeli kendaraan bermotor untuk tingkat efisiensi produksi CO2, juga himbauan untuk masuk ke kota dengan menggunakan kendaraan umum.  Program-program tersebut benar-benar disiplin dilaksanakan."

"Iya, untuk itulah aku ada di sini. Maksudku aku ada di sini karena aku mencintai negeriku.  Aku ingin banyak belajar tentang iklim dan mempraktekan semua yang aku pelajari untuk negeri kita."

Kemudian mereka berjalan-jalan di taman kota Koenigsgarten melihat jika saja sudah ada bunga Krokus yang bertunas.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun