"Maaf, Mak. Saat ini yang kulakukan hanya tidak ingin kita kelaparan."
"Tapi caranya, Nduk. Emak sudah bilang jangan berhenti di pintu itu," suara emak mulai bergetar pertanda memendam sedikit kekecewaan.
"Tapi Narti, ndak berhenti Mak. Mung singgah. Ndak nyalahi aturan-aturan kesusilaan, Mak," isakku dalam pelukan Emak.
***
Jadilah aku di sini, di hadapan wajah-wajah yang meminta penjelasan apa dan di mana aku bekerja saat ini.
Menjadi seorang perempuan miskin, ditinggalkan suami, dan mencari nafkah di pintu yang terbuka sepanjang malam, ternyata tidak hanya menjadi salah di mata Tuhan lebih-lebih di mata manusia. Sementara pemikiran itu tidak cukup membuat kuat menahan deras hujan di kedua pipi. Meskipun wangi dari aroma dosa tidak sepenuhnya masuk ke ruang pernapasan kami, aku dan Emak.
Rasa lelah dari berlari, ketidakmampuan berjalan yang memaksa singgah dari semua rasa yang memberatkan, adalah aku di sini. Memandang satu persatu mata orang-orang yang membawa belati di pikiran dan api di bibir. Orang-orang yang membuta dan tulikan indera pemberian Tuhan dari suara kelaparan saudaranya sendiri.
Tut ... Tut ... Tut ... Handphone monoponik di saku bajuku berbunyi.
"Maaf ...," izinku kepada Pak Kades.
"Nar, ada kerjaan untukmu, laundry di Shangri La Hotel. Lumayan gajinya bisa untuk menghidupi Emakmu lebih layak lagi, daripada jadi cleaning klub kecil di tempatku bekerja."
Suara dari Mira. Salah satu 'lonte' tempat hiburan malam yang bajunya sering kucuci di rumah, sebagai tambah-tambahan penghasilan daripada hanya mengandalkan gaji cleaning selama ini.