Mohon tunggu...
Lilin
Lilin Mohon Tunggu... Wiraswasta - Perempuan

Perempuan penyuka sepi ini mulai senang membaca dan menulis semenjak pertama kali mengenal A,I,u,e,o

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Pintu yang Tak Pernah Tertutup

25 Mei 2022   22:54 Diperbarui: 25 Mei 2022   23:36 319
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

PINTU YANG TAK PERNAH TERTUTUP

Berjalanlah jika berlari terasa melelahkan, berhentilah jika berjalan di rasa terlalu melemahkan. Emak berkata singgahlah jika dirasa semua terasa memberatkan.

Masjid merupakan tempat yang akan menerima kita sebelum benar-benar pulang ke rumah sesungguhnya. Namun, bagaimana bisa jika setiap masjid selalu tertutup rapat, tidak hanya saat matahari mengistirahatkan diri bahkan saat suara-suara alam menyerukan diri untuk berhenti melakukan segala aktifitas keduniawian. Pintu-pintu itu masih saja tertutup rapat hingga detik-detik mendekat takbiratul ihram.

Sampailah aku di sini, di depan pintu yang selalu terbuka lebar, dari semua pintu-pintu yang kutemui. Pintu rumah Tuan yang kehilangan kunci bagi orang sepertiku. Meskipun Emak tak pernah mengatakan atau bahkan menceritakan alasan apa yang membuatku tak boleh menyinggahi rumah ini.

"Mungkin saja saat ini Emak memperbolehkan untuk kusinggahi," pikirku.

Di tempat ini banyak sekali benda-benda berharga, berkilauan dengan warna-warni kebahagiaan, namun entah mengapa tak satupun pintu dari rumah ini ditutup. Di sini selalu menampung orang-orang yang kemalaman, kebelet, kedinginan, dan orang-orang yang rindu rumah.

"Selain di sini, aku mesti kemana lagi?" pikirku. "Sementara rumah Tuhan tak memperbolehkan kusinggahi."

***

Untuk kesekian kali mata Emak enggan melepas kepergianku malam ini. Lirih suaranya mengutarakan keberatan.

"Malam ini, masuk malam lagi?"

"Iya mak, mau bagaimana lagi karena ada teman yang minta izin tukar shift karena istrinya melahirkan dan harus bantuin jagain bayinya kalau malam," bohongku kali ini. "Terpaksa aku masuk malam terus."

"Iya Nduk, yang terpenting saat ini kita bisa makan," tutur Emak lemah. "Kamu hati-hati ya di jalan."

"Baik, Mak?"

Tangan Emak yang keriput terasa lemah di dalam genggamanku. Tidak hanya usia yang telah merampas kekuatannya melainkan penyakit Diabetes yang bertahun-tahun membuat perempuan tunggal di dalam hidupku tampak menjadi begitu renta.

Sementara tangan kanannya berada dalam genggamanku, tangan kiri perempuan itu mengusap seragam kerja yang kukenakan. Seperti biasanya Emak selalu memastikan bahwa seragam yang kukenakan telah benar-benar rapi.

"Aku pergi dulu ya, Mak. Assalamualaikum."

"Waalaikumsalam."

Pintu kamar dari bambu itu kubuka perlahan. Sejenak kupastikan bahwa Emak tak memerlukan apa-apa lagi. Satu persatu kancing seragam pegawai konveksi kulepas. Lalu kukenakan kaos singlet hitam dengan jaket kulit warna senada.

Aku merasa tak memiliki beban sama sekali. Semua kutinggalkan di lemari kayu tua peninggalan Bapak. Aku sadar beban ini nantinya akan membuat langkah menjadi berat jika suatu saat terjadi apa-apa denganku. Dulu Emak dengan segala penyakitnya tak sedikit pun menjadi beban dalam kehidupanku. 

Dulu sekali, sebelum ada pemecatan besar-besaran di pabrik konveksi tempatku mencari pemenuhan kebutuhan hidup. Celakanya hingga beberapa bulan mencari pekerjaan tak juga kuperoleh, bahkan menjadi kuli panggul di pasar saja tak mereka beri kesempatan dengan alasan nanti akan tumbuh punuk unta di punggungku.

"Hidup ini harus berjalan, yang penting bisa makan." Begitu terus kata-kata Emak yang selalu kuingat.

Aku hampir-hampir tak merasakan bagaimana nyenyaknya tidur di malam hari. Aku hanya hidup untuk menyenyakkan tidur Emak tanpa diganggu suara perut yang keroncongan. Ya, sementara itu saja cukup. Tak ada satu keinginan pun untuk diriku sendiri. Khususnya semenjak Mas Kurdi meninggalkanku. Lelaki itu pergi setelah mendengar vonis dokter bahwasanya tak akan ada satu benih yang akan tumbuh di dalam rahimku. Penyakit kista telah memangkas harapan-harapan untukku menjadi seorang ibu.

Aku beranggapan kalau kista dan benih hanyalah sebuah peralihan dari alasan yang sesungguhnya, yaitu karena aku miskin. Lelaki mana yang mau bersakit-sakitan di masa tuanya hanya bersama perempuan yang tidak memiliki apa-apa.

Sejak saat itu, aku mulai berpikir bagaimana cara menjadi kaya dan memenuhi segala kebutuhan. Itulah yang meresahkan batinku, bagaimana bisa jika tak satu pun pekerjaan kuperoleh setelah pemecatan berbulan-bulan lalu. Jadilah aku di sini.

***

Beberapa orang yang lewat selalu melihatku di halaman belakang rumah. Sedikit berhenti, melihat, lalu berjalan kembali dengan bibir sedikit ditekan ke bawah hingga dagu mereka menyerupai rumah tawon. Mereka tentu tidak berani bertanya langsung, apa yang sedang kulakukan. Kalaupun ada yang berani bertanya, hanya sebagian saja itupun teman-teman sepermainanku di masa kecil dulu.

"Nar, apa yang sedang kaujemur itu?"

"Baju," jawabku singkat sedikitpun tak terusik dengan suara cekikikan Lastri dan Rosida.

"Bentuknya lucu sekali ya, bagaimana caranya pakainya, Nar"

Hahahaha suara tawa keras keluar dari kedua mulut mereka secara bersamaan. Tanpa menunggu jawaban dariku keduanya ngeloyor pergi dengan terus berbisik-bisik satu sama lain.

Andai saja mereka sedikit menunggu penjelasanku. Mungkin aku juga akan mendapatkan kesulitanan, sesulit merubah tatapan mata setiap orang yang lewat saat ini.

Beberapa bulan berjalan, aku tak pernah memperdulikan gunjingan orang sekampung. Setiap aku menjemur dan saat berangkat kerja semua orang berbisik-bisik lalu terbahak. Tidak hanya perempuan, muda, tua, bahkan para lelaki mulai suka bersiul-siul dan menggoda. Ahh tak kupedulikan, toh di tempat itu semua orang sudah terlalu berlebihan ramahnya dari orang-orang sekampung sendiri.

Orang-orang yang awalnya menafsirkan ucapan Pak Kepala Desa sebagai pemakluman. Toh selama ini tidak mengganggu atau menggoda orang-orang di kampung, selain itu Emak menjadi satu faktor pemakluman mereka. Jika aku tidak melakukannya siapa yang mau menafkahi segala kebutuhan Emak. Ya biarkan sajalah, batin mereka.

Namun seiring waktu, pemikiran dan pemakluman itu tidak lagi berlaku untukku. Semenjak insiden beberapa hari lalu. Tatkala aku pulang di hantarkan oleh seorang lelaki dengan mobil tepat berhenti di depan rumah, karena kaki kiriku terluka oleh pecahan gelas.

***

Pagi-pagi, orang-orang sudah berkumpul di Balai Desa tidak seperti biasanya setiap berkumpul di sini orang-orang selalu berwajah melas dan kemudian tersenyum bahagia lantaran telah menerima bantuan dari pemerintah. Namun pagi ini wajah-wajah itu hilang entah kemana menyisa tarikan tegas di kening dan suara gemeretak dari kedua gigi geraham yang saling beradu mirip tanduk kerbau di lapangan pertarungan.

"Selama ini saya diamkan saja, karena bagaimanapun Narti dan ibunya tidak pernah sekalipun mendapatkan bantuan dari Pemerintah. Namun itu tidak menjadikan pembenaran dari perilakunya yang menyimpang. Melanggar norma kesusilaan yang ada di masyarakat kita, Pak Kades." Suara lantang perwakilan dari warga kampung mulai berbicara.

"Iya saya tahu, dan saat ini saya juga telah melakukan pemanggilan atas diri saudari Narti," tegas Pak Kades.

"Tunggulah beberapa menit lagi."

Sementara itu di rumah, berita pemanggilan sampai juga di telinga Emak. Itulah yang kukhawatirkan tatkala Kang Amir menyampaikan titah dari Pak Kades dengan suara yang begitu lantang, dan bilah-bilah bambu di rumah ini tidak cukup rapat menutup suaranya. Jangankan menutup suara Amir, nyamuk-nyamuk saja begitu mudah menumpang teduh jika hujan mulai datang setiap malamnya.

"Nar," panggil Emak nyaris tak terdengar.

"Iya, Mak."

"Kenapa kamu berbohong, Nduk?"

"Maaf, Mak. Saat ini yang kulakukan hanya tidak ingin kita kelaparan."

"Tapi caranya, Nduk. Emak sudah bilang jangan berhenti di pintu itu," suara emak mulai bergetar pertanda memendam sedikit kekecewaan.

"Tapi Narti, ndak berhenti Mak. Mung singgah. Ndak nyalahi aturan-aturan kesusilaan, Mak," isakku dalam pelukan Emak.

***

Jadilah aku di sini, di hadapan wajah-wajah yang meminta penjelasan apa dan di mana aku bekerja saat ini.

Menjadi seorang perempuan miskin, ditinggalkan suami, dan mencari nafkah di pintu yang terbuka sepanjang malam, ternyata tidak hanya menjadi salah di mata Tuhan lebih-lebih di mata manusia. Sementara pemikiran itu tidak cukup membuat kuat menahan deras hujan di kedua pipi. Meskipun wangi dari aroma dosa tidak sepenuhnya masuk ke ruang pernapasan kami, aku dan Emak.

Rasa lelah dari berlari, ketidakmampuan berjalan yang memaksa singgah dari semua rasa yang memberatkan, adalah aku di sini. Memandang satu persatu mata orang-orang yang membawa belati di pikiran dan api di bibir. Orang-orang yang membuta dan tulikan indera pemberian Tuhan dari suara kelaparan saudaranya sendiri.

Tut ... Tut ... Tut ... Handphone monoponik di saku bajuku berbunyi.

"Maaf ...," izinku kepada Pak Kades.

"Nar, ada kerjaan untukmu, laundry di Shangri La Hotel. Lumayan gajinya bisa untuk menghidupi Emakmu lebih layak lagi, daripada jadi cleaning klub kecil di tempatku bekerja."

Suara dari Mira. Salah satu 'lonte' tempat hiburan malam yang bajunya sering kucuci di rumah, sebagai tambah-tambahan penghasilan daripada hanya mengandalkan gaji cleaning selama ini.

Aku tidak memperdulikan tatapan orang-orang yang ada di hadapanku saat ini. Suara loudspeaker handphone monophonic yang speakernya sudah tidak sempurna lagi, mampu menjawab semua pertanyaan-pertanyaan mereka. 

Surabaya, 25 Maret 2022

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun