"Iya mak, mau bagaimana lagi karena ada teman yang minta izin tukar shift karena istrinya melahirkan dan harus bantuin jagain bayinya kalau malam," bohongku kali ini. "Terpaksa aku masuk malam terus."
"Iya Nduk, yang terpenting saat ini kita bisa makan," tutur Emak lemah. "Kamu hati-hati ya di jalan."
"Baik, Mak?"
Tangan Emak yang keriput terasa lemah di dalam genggamanku. Tidak hanya usia yang telah merampas kekuatannya melainkan penyakit Diabetes yang bertahun-tahun membuat perempuan tunggal di dalam hidupku tampak menjadi begitu renta.
Sementara tangan kanannya berada dalam genggamanku, tangan kiri perempuan itu mengusap seragam kerja yang kukenakan. Seperti biasanya Emak selalu memastikan bahwa seragam yang kukenakan telah benar-benar rapi.
"Aku pergi dulu ya, Mak. Assalamualaikum."
"Waalaikumsalam."
Pintu kamar dari bambu itu kubuka perlahan. Sejenak kupastikan bahwa Emak tak memerlukan apa-apa lagi. Satu persatu kancing seragam pegawai konveksi kulepas. Lalu kukenakan kaos singlet hitam dengan jaket kulit warna senada.
Aku merasa tak memiliki beban sama sekali. Semua kutinggalkan di lemari kayu tua peninggalan Bapak. Aku sadar beban ini nantinya akan membuat langkah menjadi berat jika suatu saat terjadi apa-apa denganku. Dulu Emak dengan segala penyakitnya tak sedikit pun menjadi beban dalam kehidupanku.Â
Dulu sekali, sebelum ada pemecatan besar-besaran di pabrik konveksi tempatku mencari pemenuhan kebutuhan hidup. Celakanya hingga beberapa bulan mencari pekerjaan tak juga kuperoleh, bahkan menjadi kuli panggul di pasar saja tak mereka beri kesempatan dengan alasan nanti akan tumbuh punuk unta di punggungku.
"Hidup ini harus berjalan, yang penting bisa makan." Begitu terus kata-kata Emak yang selalu kuingat.