"Emak ...," teriaknya seraya mengangkat buku gambarnya tinggi di atas kepala.
"Iya ...."Â
Kuanggukan kepala memberikan sedikit perhatian. Seketika hilang rasa sakit-sakit yang mendera raga. Kembali kupercepat ayunan sapu di tangan, senyum ketiga anakku bergantian terbayang di pelupuk mata, membentuk sebuah rangkaian film yang mana akhir ceritanya kuinginkan bahagia.
***
Hujan mulai turun, entah beberapa hari ini hujan selalu saja cepat turun. Aku berkata pada diri sendiri, dengan mengibaskan ujung rok panjang yang menutupi kedua mata kaki.
"Entah kenapa hujan selalu saja hadir di musim-musim kemarau? Sementara orang-orang begitu menyukai hujan dan tak ingin mengenal kemarau."Â
Di halte tempatku bersandar sejenak melepas lelah, seraya menunggu tetes-tetes hujan sedikit berkurang. Tak ada orang lain selain aku dan Sari. Tempias hujan sedikit menyentuh ujung rambutnya yang memerah terbakar oleh Matahari. Jalanan terasa semakin sunyi. Hanya sesekali celoteh anakku itu menghadirkan tawa di antara kita.
"Lihat, ada anakkan kucing yang ikut berteduh, Sayang."Â
Sudut mata Sari mengikuti arah telunjukku, ke arah anakan kucing hitam yang meringkuk di dekat tiang halte.
"Mungkin saja induknya tak sengaja kehilangan sabar dalam menjaga, lantas meninggalkannya sendirian di jalanan," pikirku.
Hujan turun membawa berkah bagi siapa saja, para penjual mantel hujan, penjaja gorengan, dan juga anak-anak penjual jasa peminjaman payung. Hujan selalu memberi hidup baik dan buruk. Ia tak pernah menghiraukan hujatan atau pujian. Semua sama saja, turun, menggenang, dan mengalir hilang begitu reda.Â