Mohon tunggu...
Lilin
Lilin Mohon Tunggu... Wiraswasta - Perempuan

Perempuan penyuka sepi ini mulai senang membaca dan menulis semenjak pertama kali mengenal A,I,u,e,o

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cerpen Lilin: Orang-Orang yang Merasa Tidak Aman

18 Desember 2021   23:47 Diperbarui: 18 Desember 2021   23:49 228
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Aku dan anakku juga salah satu penghuni lama di komplek perumahan ini. Rumah ini adalah satu-satunya harta peninggalan suamiku, selain daripada anakku. Suamiku meninggal tatkala usia pernikahan kami masih seumur jagung. Kecelakaan motor di pagi hari saat perjalanan ke kantor pemerintahan, telah merenggut nyawanya. Waktu itu bayiku masih berumur dua bulan. 

Uang tunjangan dari kantor tidak mungkin bisa menopang seumur hidup kami berdua, hal itu membuatku harus putar otak. Maka kupilih sebagai seorang karyawati pabrik rokok di kota ini. Dengan susah hati setiap pagi kutitipkan bayiku pada seorang tetangga depan gang. Bagaimana perhatiannya seorang ibu penjaga tidak akan sama dengan ibu kandung. Bahkan ketika tubuh bayiku panasnya mencapai 37 derajat, ibu penjaga itu hanya menempelkan kain basah sebagai pereda panasnya, dan tidak membawanya ke dokter. Alhasil sejak saat itu ada kerusakan otak pada bayiku disebabkan demam yang tidak cepat tertolong.

Aku kesal sekali orang-orang di balai itu tidak menghentikan obrolan mereka, bahkan ketika aku melewati mereka. Padahal di antara mereka-mereka kutahu dengan jelas ada sebagian yang mengeluh jika mendapat giliran jaga kampung. Banyak alasan yang dipilih, mulai kurang enak badan, sibuk lembur kerja, anak sedang sakit, sekedar bisa mengganti giliran jaga dengan sepiring pisang goreng atau seteko kopi hitam. 

Sementara itu, bayaran penjaga kampung tidak lebih mahal daripada harga sepiring pisang dan seteko kopi. Begitu juga masih dipermasalahkan. Jika saja Dedik pintar menghitung tentunya bayaran itu tidak akan cukup untuk mencukupi kebutuhan hidup keluarganya, bahkan untuk dirinya sendiri.

Memang Dedik telah berulang kali diberhentikan, digantikan orang lain. Tetapi pada akhirnya kembali Dedik lah yang bertahan. Usia Dedik yang masih muda dan juga keikhlasannya menerima berapapun gaji yang diberikan kepadanya, selain daripada itu Dedik sangat membutuhkan pekerjaan ini. Hal inilah yang membuat beberapa orang masih menpertahakannya. 

Dua minggu yang lalu, Pak Karto meminta maaf atas nama seluruh warga komplek karena telah memberhentikan Dedik. Pria berusia dua puluh tahun, bertubuh gempal itu sama sekali tidak merasa keberatan. Dengan senyum ramah, ia berkata tidak apa-apa. Meskipun besok-besok ia pastinya akan menambah daftar pengangguran di negeri ini. 

Pak Karto sebenarnya ingin menjelaskan situasi dan alasan-alasan kenapa sampai saat ini masih mempekerjakan Dedik sebagai penjaga perumahan, meskipun jelas-jelas kinerja Dedik tidak seperti penjaga keamanan profesional lainnya. Namun lagi-lagi Pak Karto merasa hal itu tidak ada gunanya lagi. Kemarahan dan kekecewaan warga lainnya lebih diutamakan daripada senyum seorang Dedik. 

***

"Maaf, Bapak tidak bisa membela Dedik lagi, Bu."

"Tidak apa-apa, Pak. Kalau tidak begini Dedik tidak akan pernah mau istirahat."

"Saya sungguh-sungguh menyesal, Bu."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun