***
Seperti yang kuperkirakan, kata-kata itu menjadi bom yang meluluhlantakkan sebuah hubungan. Perempuan itu sangat marah dan memutuskan hubungan tanpa menunggu berlama-lama. Sumpah serapah diterima sang penyair tanpa pembelaan.Â
Entah bagaimana bisa sepagi ini perempuan itu sudah berada di kamar, tatkala sang penyair masih asyik buang hajat di jamban. Bukan kejutan yang kuberikan, justru sebaliknya ia yang dibuat terkejut oleh pengakuan kekasihnya.Â
"Lelaki tak tahu diuntung, sudah bagus setiap hari kukasih kau makan. Rokok dan tunggangan keren. Sekarang makan tuh kata-kata."Â
Kunci motor di atas meja tak pelak menjadi sasaran kemarahannya. Perempuan itu seperti benar-benar kehilangan akal, seperti lupa bagaimana kemarin dengan manja bergelayutan di pundak sang penyair.Â
***
Setelah seharian kemarin ramai di rumah ini, kini berganti sepi. Wajah-wajah kekecewaan tergambar di kening ibu dan bapak. Suasana sangat mencekam, tak ada yang berani membuka percakapan.Â
Ia hanya bisa terdiam. Kembali duduk di sudut ruangan, membuka papan hitam berlayar putih yang ada di atas meja. Menyalakan selinting rokok, jari-jarinya mulai menuliskan sesuatu.Â
Aku pun ikut terdiam, menunggu dengan rasa was-was. Sungguh ketakutan itu ada di dalam diriku, kecemasan menyerangku secara tiba-tiba. Sampai semuanya lenyap. Ketika kulihat jari-jarinya mengetikkan.
Besok pagi aku akan berjalan-jalan dengan kematian yang bertubuh kecil, berkulit coklat keriput dari satu tempat ke tempat yang lainnya.Â
Satu hati ke patahan yang berserak, dan mungkin akan kembali pulang petang. Lalu berdua kita akan didihkan anggur di wajan, di jalan, di langit, dan di dada kita. Masaklah ... makanlah ... dan hiduplah ....