"Katamu tak ada yang tahu bagaimana rasanya kesepian dan patah hati, selain penyairnya sendiri."
"Ah itu kan hanya sekedar tulisan, imajiner saja."Â
Masih saja lidahmu berkelit, sedangkan rindu dan cemburu menguasai hatiku. "Sekarang tak akan ada lagi kisah-kisah sang penyair kesepian. Cukup mereka saja yang merasakannya, mereka yang terbawa sunyinya sebuah imajiner." Dia tertawa lantang, seakan-akan menertawakan kedukaanku.Â
Sering aku bergumam sendiri, semenjak ia berubah. "Begitu indah sebuah kesendirian dan akan lebih indah lagi jika kesendirian mendiami kita masing-masing."Â
***
Entah keberanian ini datangnya dari mana. Dengan segala kesadaran mampu membuatku menuliskan apa yang tak pernah terbayangkan, kusebut ini kejujuran.
Perempuan berhasrat samudera
Tak ada satu biji mutiara pun yang tercecer dari kedua matamu mampu menghidupi kematian
Selain kebodohan-kebodohan yang kusuguhkan
Untuk menyelami kedalamannya tidaklah sulit
Berpura-pura tertawa cukuplah
Sekedar ikut mengenyangkan cacing-cacing lapar dalam perut
Jika tanah keabadian itu telah siap
Lenyaplah bersama pesakitan yang kau tabur waktu-waktu kemarin
Dan aku muak dengan saat-saat ini, kepadamu perempuanku
Keberanianku berhenti sampai di situ, ketika kulihat ia membuka kamar. Merentangkan kedua tangan dan menarik napas panjang lalu menghembuskannya ke langit-langit.Â
Lelah nampak begitu ketara, seharian berkeliling dari satu teman ke teman perempuan itu. Memperkenalkan sekaligus memamerkan diri, bahwa sesaat lagi mereka akan menjadi sepasang pengantin.Â
Hufff ....
Di tertidur dengan segera. Lagi-lagi tanpa mengingatku.