"Tak-tik-tak," suara burung di dalam sangkar mengingatkan sang penyair pada rutinitasnya kemarin-kemarin. Sang penyair tersenyum, "ada-ada saja burung bisa bersuara mesin ketik."
Dia teringat beberapa waktu lalu salah satu cerpennya dimuat di sebuah media online. Cerpen yang menceritakan tentang penyair yang menikahi kematian. Tulisannya itu dimuat tanpa menunggu lama, Satu bukti lagi cerita tentang cinta, kesepian, dan patah hati masih memiliki daya pikat di mata pembacanya.
Mereka tidak tahu bagaimana jalan sebuah cerita dituliskan, perasaan apa yang tertulis, tidak semerta-merta rekaan saja. Perlu pembelajaran khusus sehingga pembaca bisa terhanyut dalam menyingkap kata per kata. Tapi ia bisa apa selain hanya menuliskan cerita kesedihan, patah hati, dengan kesendiriannya, karena hanya dengan cerita-cerita itu dia bisa makan.Â
Sang penyair terduduk di halaman rumah, dengan beberapa sangkar burung bergelantungan di sudut-sudutnya. Sementara motor keluaran terbaru perusahaan otomotif terkenal di negara ini, terparkir cantik di halamannya yang luas.
Cantik dan bersih, motor itu sudah mandi bahkan sebelum sang penyair menggosok gigi. Kemarin-kemarin di jam seperti ini biasanya ia sedang sibuk menjerang air untuk secangkir kopi sebagai peneman selinting rokok pemberian sang bapak sebelum pergi ke ladang. Kini tidak lagi.Â
Ia bersiul-siul mengiringi lagu Scared to be lonely yang terdengar dari dalam kamar. Satu set alat musik itu kini menjerit sendirian. Sementara kata-kata terlempar begitu saja. Sang penyair tak lagi punya waktu untuk memungut, atau sekali saja membantunya merangkai sebuah kata.
"Mas, bisa antarkan aku ke pasar?"Â
Seorang perempuan muda tersenyum manja menggelayut di pundaknya yang kosong.
"Oke, siapa takut."Â
Sang penyair bersungut penuh semangat. Tak lupa di hadiahkan satu cubitan lembut di dagu sang perempuan muda. Gambaran pagi yang menyenangkan.Â
Cahaya pagi ini begitu menyala di mataku. Seperti yang banyak orang kira, ada kecemburuan di dalam pandangan ini. Entah mengapa aku tiba-tiba menjadi benci dengan kebahagiaan orang. Sementara dari kecil aku hidup dalam kesendirian, sama sekali tak pernah mengenal kata cemburu.
***
Kita berdua beberapa waktu lalu pernah memimpikan untuk menikah. Menjadi pengantin bayang-bayang bahasa, yang hidup di barisan kata, di antara sajak-sajak yang terpampang di media massa. Seperti penyair yang menikahi kematian dalam cerpenmu.
Sebagai calon pengantin banyak persiapan yang kulakukan. Mulai bagaimana bangun pagi, membersihkan diri dengan air hangat seperti yang kau sukai.Â
Berbahasa lemah lembut, bagaimana sulitnya, mungkin hanya aku yang merasakannya sebagai orang timur yang terkenal 'sanjipak/asal njeplak(asal bicara) dan berwatak keras.
Tidak ada lagi suka-suka yang kusukai. Selimut yang berserakan di lantai, ketika pagi hari mengharuskan lekas-lekas pergi. Yang paling membuat tersiksa adalah bagaimana cara untuk tidak tertarik dengan senyum bahagia orang-orang di sekeliling. Sungguh benar-benar menyiksa.Â
Pernah ada satu orang penyair yang menawarkan ribuan sajak untuk mengajak mengarungi samudera, berenang bersama ikan-ikan. Lalu kau tawarkan sepi untuk syarat keikutsertaannya dan mereka muntah-muntah dibuatnya. Â "Sepi hanyalah teman mereka yang patah hati," katanya sambil menangis.
Kulihat bayang punggungnya menjauh, dengan menggamit lengan perempuan muda itu. Siul-siulannya terdengar membahana, dengan menstarter motor cantik, keduanya berpelukan mesra, tak ada lagi tatapan rindu kepadaku.Â
Fajar nyaris hilang, siang telah bersiap melenakan setiap mata yang sedari subuh telah terjaga. Melakukan aktivitas sebagai manusia pada umumnya, warga desa bersiap-siap merebahkan diri di balai-balai.Â
Semua terasa sunyi. Sepanjang jalanan hanya ada rumah-rumah dengan pintu masih terbuka tapi sama sekali tidak bersuara. Aku masih menunggu.
Tak berapa lama kulihat ia kembali, lagi-lagi masih dengan bersiul-siul senang. Dengan kantong kresek hitam di kedua tangannya. Dia masih tertawa riang.Â
Tak nampak sedikitpun lelah di wajahnya, meskipun dapat kulihat kedua lipatan lengannya membanjir oleh keringat. "Ah, aku muak dengan perempuannya itu," pikirnya secara tiba-tiba.Â
Katanya perempuan itu adalah anak orang kaya dan terpandang di kampung ini. Entah bagaimana awalnya sampai perempuan itu mencintai sang penyair, dan siapa sih yang tak tergoda jika setiap malam perempuan itu membawakannya kue putu dan secangkir teh panas.Â
Sungguh tak menjadi masalah dengan segala keenakkan yang akan mereka peroleh setiap harinya. Semua menyetujui hubungan mereka, kecuali aku.
Hanya aku yang sejak awal perkenalan sudah melihat kejanggalan. Ia tak pernah lagi berteman denganku, bahkan untuk sekedar merangkai kisah imajiner saja.
"Huufff, kau keterlaluan."Â
"Apanya ... santailah."
Selalu seperti itu yang dikatakannya. Memintaku untuk santai, suatu saat pasti bersama, selalu begitu yang diungkapkannya ketika protes-protes kulayangkan dengan lembut.Â
Dulu, setiap aku merajuk, ia selalu membuatkan sajak-sajak pendek sebait barang dua bait. Tapi sekarang satu kata pun tidak.Â
Hingga malam ini, pertengkaran tak terelakkan. Aku yang benar-benar muak dengan segala kesibukan tak dapat lagi membendung kata-kata.Â
"Mana janjimu mau menikahiku dengan seperangkat puisi dan cinta," teriakku.
"Sudah kemarin lalu, sekarang tidak lagi."
"Katamu tak ada yang tahu bagaimana rasanya kesepian dan patah hati, selain penyairnya sendiri."
"Ah itu kan hanya sekedar tulisan, imajiner saja."Â
Masih saja lidahmu berkelit, sedangkan rindu dan cemburu menguasai hatiku. "Sekarang tak akan ada lagi kisah-kisah sang penyair kesepian. Cukup mereka saja yang merasakannya, mereka yang terbawa sunyinya sebuah imajiner." Dia tertawa lantang, seakan-akan menertawakan kedukaanku.Â
Sering aku bergumam sendiri, semenjak ia berubah. "Begitu indah sebuah kesendirian dan akan lebih indah lagi jika kesendirian mendiami kita masing-masing."Â
***
Entah keberanian ini datangnya dari mana. Dengan segala kesadaran mampu membuatku menuliskan apa yang tak pernah terbayangkan, kusebut ini kejujuran.
Perempuan berhasrat samudera
Tak ada satu biji mutiara pun yang tercecer dari kedua matamu mampu menghidupi kematian
Selain kebodohan-kebodohan yang kusuguhkan
Untuk menyelami kedalamannya tidaklah sulit
Berpura-pura tertawa cukuplah
Sekedar ikut mengenyangkan cacing-cacing lapar dalam perut
Jika tanah keabadian itu telah siap
Lenyaplah bersama pesakitan yang kau tabur waktu-waktu kemarin
Dan aku muak dengan saat-saat ini, kepadamu perempuanku
Keberanianku berhenti sampai di situ, ketika kulihat ia membuka kamar. Merentangkan kedua tangan dan menarik napas panjang lalu menghembuskannya ke langit-langit.Â
Lelah nampak begitu ketara, seharian berkeliling dari satu teman ke teman perempuan itu. Memperkenalkan sekaligus memamerkan diri, bahwa sesaat lagi mereka akan menjadi sepasang pengantin.Â
Hufff ....
Di tertidur dengan segera. Lagi-lagi tanpa mengingatku.
***
Seperti yang kuperkirakan, kata-kata itu menjadi bom yang meluluhlantakkan sebuah hubungan. Perempuan itu sangat marah dan memutuskan hubungan tanpa menunggu berlama-lama. Sumpah serapah diterima sang penyair tanpa pembelaan.Â
Entah bagaimana bisa sepagi ini perempuan itu sudah berada di kamar, tatkala sang penyair masih asyik buang hajat di jamban. Bukan kejutan yang kuberikan, justru sebaliknya ia yang dibuat terkejut oleh pengakuan kekasihnya.Â
"Lelaki tak tahu diuntung, sudah bagus setiap hari kukasih kau makan. Rokok dan tunggangan keren. Sekarang makan tuh kata-kata."Â
Kunci motor di atas meja tak pelak menjadi sasaran kemarahannya. Perempuan itu seperti benar-benar kehilangan akal, seperti lupa bagaimana kemarin dengan manja bergelayutan di pundak sang penyair.Â
***
Setelah seharian kemarin ramai di rumah ini, kini berganti sepi. Wajah-wajah kekecewaan tergambar di kening ibu dan bapak. Suasana sangat mencekam, tak ada yang berani membuka percakapan.Â
Ia hanya bisa terdiam. Kembali duduk di sudut ruangan, membuka papan hitam berlayar putih yang ada di atas meja. Menyalakan selinting rokok, jari-jarinya mulai menuliskan sesuatu.Â
Aku pun ikut terdiam, menunggu dengan rasa was-was. Sungguh ketakutan itu ada di dalam diriku, kecemasan menyerangku secara tiba-tiba. Sampai semuanya lenyap. Ketika kulihat jari-jarinya mengetikkan.
Besok pagi aku akan berjalan-jalan dengan kematian yang bertubuh kecil, berkulit coklat keriput dari satu tempat ke tempat yang lainnya.Â
Satu hati ke patahan yang berserak, dan mungkin akan kembali pulang petang. Lalu berdua kita akan didihkan anggur di wajan, di jalan, di langit, dan di dada kita. Masaklah ... makanlah ... dan hiduplah ....
Aku tersenyum, semua telah kembali. Penyair yang menikahi kematian telah menemukan hidupnya sekali lagi.
Surabaya, 13 Oktober 2021
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H