Namun yang berhasil masuk sampai ke pedalaman etnis Minahasa ialah bangsa Spanyol, karena mereka lebih intensif, kata Fendy (Hamid: 2015, 126.). Saat itulah mereka memperkenalkan rica pada orang Minahasa.Â
Rupanya di balik penyebaran rica yang nampak dalam segi historis terdapat dua aspek, yakni aspek politik dan aspek religius. Kedua aspek ini turut mewarnai penyebaran rica sampai di Asia khususnya di negara Indonesia, provinsi Sulawesi, etnis Minahasa.Â
Hal ini dipertegas oleh Sadika Hamid dan tim Tempo dalam artikel Politik Cabai bahwa "kehadiran makanan pedas (cabai/rica) ini berkaitan dengan perebutan kekuasaan dan penyebaran agama di sana (Minahasa) beberapa abad silam".
[4] Meski demikian, cabai rupanya mendapat perhatian dan mendapat tempat di lidah orang Minahasa. Hal itu bisa dibuktikan dari makanan khas etnis Minahasa yang senantiasa memakai rica sebagai bumbu dapur pokok dalam setiap makanan.Â
Kepala Bidang Perdagangan dalam Negeri, Johanis Wajong, berpendapat bahwa "kalau tak makan rica tak kenyang" (Hamid: 2015, 126.). Hal ini menunjukan bahwa rica dari aspek politik religus menuju ke aspek budaya. Â
Aspek Budaya Penggunaan Rica pada Makanan Suku Minahasa
Belanda masuk ke Indonesia 22 Juni 1596.[1] Belanda kemudian bergabung dengan Ternate menguasai Maluku dan Sulawesi Utara pada 1644. VOC[2] (Vereenigde Oostindische Compagnie) Belanda berhasil mengusir bangsa Spanyol kembali ke Filipina, sehingga orang Katolik menjadi orang Kristen Protestan agama yang dibawa oleh Belanda.Â
Rupanya sejarah terus berlanjut, bangsa Spanyol meninggalkan Sulawesi Utara, namun satu yang tetap tinggal di Sulawesi Utara, pada etnis Minahasa, yakni rica.[3] Hal ini sebenarnya menunjukan nilai budaya dari rica. Hal itu karena, rica kemudian menjadi bumbu dapur yang khas pada setiap makanan suku Minahasa.
 Pertanyaan mengapa rica menjadi bumbu dapur khas pada makanan suku Minahasa? Mulai menemukan jawabannya pada bagian ini, dengan melihat bahwa ternyata meski Spanyol telah meninggalkan daerah Minahasa, namun rica tetap tinggal di daerah itu.Â
Setelah peradaban yang panjang dengan masa penjajahan Belanda kemudian Jepang, sampai akhirnya merdeka, rica tetap ada dan digunakan oleh orang Minahasa. Tetapi sesungguhnya suku Minahasa menyukai rica bukan karena sudah berabad-abad lamanya rica menemani lidah orang Minahasa dalam makanan.Â
Sebenarnya karena pada waktu-waktu itu, daerah Minahasa sangat dingin apa lagi bagi masyarakat yang tinggal di gunung. Sehingga rica yang pedas membuat panas itu disukai oleh masayarakat.[4] Apa lagi ketika digabungkan dengan rempah-rempah lain seperti cengkeh, pala, dan jahe, serta bawang merah, serai, balakama (kemangi), daun kunyit, dan daun lemon (daun jeruk) (Hamid: 2015, 127.).Â