Aku hanya ingin melihat Melisa cemburu.
Kalau beberapa orang takut jika pasangannya cemburu, justru tidak bagiku. Aku sangat ingin dicemburui. Sejak kami jadian sembilan tahun yang lalu, dia tidak pernah sekali saja cemburu padaku. Aku mau jalan sama siapa saja, dia tak peduli. Bahkan ketika aku kepergok berduaan di kamar kos dengan Tifani, sahabatnya, penuh peluh dan tanpa busana, dia hanya berujar, “Kalian sedang apa?” Dengan wajah datar, tanpa ada segores emosi.
Dan beberapa waktu yang lalu aku sempat menunjukkan pada Melisa pesan-pesan mesraku pada beberapa wanita. Ia hanya mengerutkan keningnya, tanpa berkomentar sedikit pun.
“Kamu tidak cemburu?” tanyaku penasaran.
“Untuk apa?” ia balik bertanya, tanpa memandangku.
Jujur, aku tak pernah berupaya mencari wanita lain untuk kupacari. Aku merasa tak pantas mengkhianati kesetiaannya selama ini. Wanita-wanita yang kuperlakukan mesra itu hanya sebatas usahaku untuk membuat Melisa cemburu. Itu saja.
Aku hanya ingin dicemburui kekasih.
Seperti kawan-kawan di kantor yang sering bercerita bagaimana pacar dan istri mereka cemburu. Pulang terlambat, dicemburui. Memakai parfum lain, dicemburui. Foto berdua dengan seorang wanita lain, dicemburui. Kata mereka, dicemburui itu asyik. Mereka menganggap, cemburu adalah satu-satunya tanda paling nyata, apa pasangannya betul-betul cinta atau tidak.
Namun, sepertinya aku tak pernah berhasil membuat pasanganku cemburu.
***
Harus sempurna!
Sejak satu jam yang lalu, aku sibuk bolak-balik di depan cermin. Mengecek rambut dan riasan di wajah. Sebagai sentuhan final, kupulaskan eyeliner yang membuat mataku terlihat semakin belok. Setelah itu, kusemprotkan parfum ke kedua pergelangan tangan, ke belakang leher, dan ke selangkangan. Aku ingin tampil se-wah mungkin di hadapan Rendra nanti.
Gaun merah menyala membuatku semakin memesona. Pas di badan. Pahaku yang putih bersih terlihat begitu sempurna. Belahan dadaku yang aduhai, dijamin tak akan gagal mencuri perhatian siapa pun yang berpapasan denganku.
Pun perhatian Rendra!
Saat tadi pagi aku menerima pesan dari Rendra yang mengajakku berkencan, aku serasa masuk surga. Langsung kuiyakan, kupersiapkan betul-betul. Tak seperti untuk tamuku yang biasanya, kali ini aku tampil istimewa. Jarang-jarang orang sekaya Rendra datang ke tempat ini. Biasanya, orang sekelas Rendra jajannya ya di Mangga Besar.
Ah, siapa tahu, malam ini terakhirnya aku berdagang di sini, sebelum wacana si Sipit yang akan menjadikan tempat ini menjadi kebun pisang betul-betul dilaksanakan.
Mataku berbinar saat menangkap bayang mobil sedan silver melaju begitu bersemangat menghampiriku. Aku membiarkan si pengemudi turun dari mobil lalu menggamit lenganku, dan mengajaknya masuk ke dalam mobil. Diiringi mata kawan-kawanku yang melotot dan bibir mereka berdesis, mungkin mendengungkan istighfar.
Mereka tak akan menyangka malam ini aku melayani pemilik stasiun televisi itu. Seterkenal-terkenalnya aku di wilayah ini, tetap saja pol mentok Martono, bandar judi itu. Atau sesekali Dadang, camat desa sebelah yang lagi kesepian setelah ditinggal mati istrinya.
Kemenanganku tak berhenti sampai di situ. Duapuluh menit lagi aku akan mereguk kemenangan lagi saat Melisa memeluk kakiku, meronta, merengek, sambil memohon untuk mengembalikan lelakinya. Persis seperti anak kecil yang habis direbut mainannya.
Di dalam hati, aku terkikik puas.
***
Semua kupersiapkan sendiri. Gaun, gedung, katering, bahkan hal-hal detail seperti siapa yang akan memegangi ujung gaunku nanti, siapa yang menjadi lektris, siapa yang membukakan pintu mobil pengantin, semua aku yang urus.
Terlalu heboh, mungkin.
Sepertinya ini adalah klimaks dari sembilan tahun perjalanan panjang. Pria yang membuatku jatuh hati, setiap kali aku memandang mata cokelatnya. Pria yang membuat jantungku berdebar setiap kali menyentuh kulitnya. Tak ada yang berubah dari sembilan tahun kami. Yang ada, aku semakin jatuh cinta!
Saat itu langit begitu biru. Begitu menjanjikan!
Tapi semua itu sepertinya telah berubah dalam lima detik saat kutangkap sosoknya keluar dari ambulans, dengan darah berleleran dari tubuhnya. Matanya terpejam damai, napasnya teratur, dan patuh ketika digotong menuju IGD. Aku, yang saat itu berjaga di rumah sakit, menjadi orang pertama yang harus menyelamatkan hidupnya. Persiapan pernikahan kami, yang demikian nyaris sempurna, takkan kubiarkan sia-sia hanya karena kematian Rendra.
Namun… wanita itu!
“Pria ini menabrak sebuah pohon besar di pinggir jalan. Dia bersama seorang pelacur paling laris di Kalijodo…,” aku sempat mendengar beberapa wartawan melaporkan langsung dari Rumah Sakitku, dengan redaksi berita yang sama.
Aku menyeringai. Mulai gusar dengar aras pikiran Rendra.
***
Dua hari kemudian.
Sukistinah, yang di wilayahnya dikenal dengan nama Rossa, setia menunggui tubuh Rendra yang mati tidak, hidup pun malas. Bahkan ketika Rendra dibawa ke ruang operasi karena patah tulang yang cukup serius, Sukistinah, ah, mari kita sebut Rossa, menguntit hingga ke ruang operasi. Ia berjalan tertatih karena cedera di bagian kakinya.
“Libur nggak jualan malam ini?” sindir Melisa sinis.
Rossa tertegun, tak mengerti.
“Kemari, saya ingin berbicara,” lirih Melisa kepada Rossa.
Rossa mendekat takut-takut. Bagaimana pun ia merasa lebih rendah dibanding Melisa.
“Ada apa, Dok?” tanya Rossa lirih, takut, ragu.
“Rendra sudah membayarmu?” tanya Melisa masih dengan nada sedatar mungkin, mengabaikan kerutan di kening Rossa.
Melisa mengulurkan amplop cokelat berisi puluhan juta rupiah, dan memaksa Rossa menerimanya.
“Ini bayaranmu untuk malam itu bersama Rendra. Kalau sisa, ambil saja,” kata Melisa lagi.
“Tapi waktu itu kami belum melakukan apa-apa, Dok,” kilah Rossa lugu.
“Tak apa. Kalau Rendra sudah sembuh saja kalian melakukannya,” jawab Melisa santai. “Sekarang, saya minta kamu meninggalkan Rendra.”
“Maksud Dokter? Saya ingin menunggui Rendra.”
Melisa mendesah. Susah ya, berbicara dengan orang yang setiap hari sudah teracuni alkohol dan pemandangan cabul.
“Untuk apa? Kamu bukan siapa-siapanya Rendra kan? Silakan pergi. Kalau saya masih melihatmu di sini, saya akan tambahi uangnya. Kalau kamu masih datang lagi, saya akan membayar orang untuk membuat kamu tidak akan pernah datang lagi. Begitu. Mengerti?”
Rossa menggeleng lagi.
Melisa mengembuskan napas muak.
“Saya boleh masuk, Dok?”
“Tak perlu!” ketus Melisa lalu masuk dan membiarkan seorang perawat menutup pintu ruang kamar operasi.
Melisa terus bergulat dengan batinnya. Mondar-mandir menyembunyikan kegelisahannya sambil menunggu kehadiran Dokter Latif, dokter anestesi. Seorang perawat melaksanakan tugasnya sesuai prosedur kerja. Memasang oksigen, memasang monitor pemantau detak jantung. Lalu menyiapkan alat operasi seperti bandage scissores, gunting operasi, forceps, gloves, urine bag, dan lain-lain.
“Ada kelainan hemostasis?” tanyanya kepada salah satu asisten medis.
“Tidak, Dok.”
“Diabetes?” tanyanya lagi.
“Tidak juga, Dok.”
“Alergi obat?”
“Tidak.”
“Hipertensi?”
“Semua normal, Dok. Sehat, dan siap untuk dilakukan operasi,” jawab asisten medis tersebut yakin.
Melisa mengangguk-angguk. Ia terus mondar-mandir.
“Siapkan defibrillator!”perintahnya singkat.
“Dok?” seluruh asisten medis seakan tak percaya akan komando Melisa. Tak biasanya Melisa menyuruh menyiapkan defibrillator sedini itu. Padahal mereka yakin ini hanya operasi ringan yang pasti berhasil. Perintah Melisa itu seolah-olah ia memungkinkan sesuatu akan terjadi pada pasien ini. Tapi mereka menurut saja tanpa banyak pertanyaan. Mereka yakin Melisa mempunyai banyak pertimbangan atas perintah itu.
Melisa menatap pasien tampan yang tergolek tak sadar di meja operasi. Ini pertama kalinya ia memandang Rendra dengan pandangan penuh kebencian. Matanya yang biasanya memancarkan cahaya cinta, detik ini berubah 180 derajat!
Beberapa menit kemudian Dokter Latif muncul. Ia sudah lengkap dengan peralatannya. “Nunggu saya?” guraunya.
Tanpa menunggu lama-lama lagi, seluruh tim berkumpul mengelilingi Rendra. Berdoa di dalam hati masing-masing. Lalu Dokter Latif segera bergerak memberi suntikan bius di sumsum tulang belakang Rendra. Lima menit kemudian Melisa dan seorang asisten dokter mulai mengeksekusi Rendra. Seorang perawat dengan cekatan memasang nelaton catheter.
Satu jam berlalu, operasi masih berlangsung. Beberapa kali seorang perawat mengusap dahi Melisa yang bercucuran keringat. Suasana sepi mencekam tercetak jelas di ruangan itu. Hanya terdengar suara yang berasal dari monitor pemantau detak jantung dan deru tabung oksigen. Suara Melisa terdengar sekali-sekali untuk minta diambilkan ini dan itu. Sebentar-sebentar ia juga memandang layar pemantau detak jantung.
Asistennya menatap heran, seolah bertanya pada Melisa, “Ada apa?”
Semua berjalan normal dan sesuai harapan. Kecuali harapan Melisa. Melisa justru berharap layar pemantau detak jantung itu menunjukkan kurva yang membentuk garis lurus. Kalau ia tega, ia ingin sekali menusukkan scalpelyang sekarang ada di tangannya, ke jantung lelaki itu! Lalu menggunting urat nadinya sekalian! Biar segera mampus!
Operasi kali ini sungguh berbeda dengan banyak operasi yang Melisa lakukan. Ada rasa benci, kecewa, sedih, dan marah yang beraduk di dadanya. Saat ini, sepertinya ia harus gagal dan membuat pasien ini tidak selamat dalam operasi di tangannya. Persetan dengan sumpah dokter yang harus berusaha menyelamatkan pasiennya. Toh kalau pasien ini mati, Melisa sudah bersiap dengan defibrillator yang ia gunakan sebagai tameng. Ia akan pura-pura menggenjot defibrillator itu biar terkesan memperjuangkan nyawa si pasien. Jika tetap mati, ya terserah!
Sampai operasi hampir selesai, kurva itu tak juga membentuk garis lurus. Melisa menarik napas. Bukan napas lega, tapi napas kecewa. Kecewa karena pasiennya kali ini gagal mati di tangannya. Ini menyesakkan. Bayangan hal-hal buruk tiba-tiba menyergap. Bayangan Rendra yang lari meninggalkannya, Rendra yang memilih untuk bersama dengan pelacur itu. Semua bayangan maha buruk itu berkelindan di otaknya.
Melisa menatap pasiennya lagi dengan tatapan benci yang kian menjadi. Sembilan tahun ia selalu mengedepankan kesetiaan. Ia abaikan rasa cemburunya yang begitu dalam ketika melihat Rendra bersama wanita-wanita lain. Mencumbu, memeluk, dan mencium mereka di hadapannya.
Hati Melisa berkobar dahsyat. Bibirnya bergetar hebat. Matanya memerah. Ia tak mendengar lagi ketika para asisten medis di dekatnya memanggil-manggil namanya.
Sekejap mata, ia mengepal gunting operasinya dan menikamkan ke dada Rendra secara membabi buta. Darah membanjiri meja operasi seketika. Tubuh Rendra kejang. Seluruh tim panik, sebagian menyeret Melisa menjauh dan sebagian lagi mengerubungi Rendra. Semua di luar perkiraan.
Suster Mia menggosok-gosokkan kedua lempengan defribillator, meratakan gel yang sudah teroles. Kedua tangan suster senior itu bergetar hebat. Alat yang ringan itu mendadak sangat berat di genggamannya.
“Dua ratus joule!” seru suster Mia.
Suster Mia segera menempelkan alat itu pada dada Rendra, yang membuat Rendra terangkat dan terhempas. Mata suster Mia melirik layar pemantau detak jantung, berharap nada lengkingan monitor itu berubah. Berharap kurva lurus itu mau meliuk lagi.
Suster Mia kembali menempelkan alatnya ke dada Rendra. Dan tetap sama. Lengkingan monitor dan kurva monitor itu tak berubah.
“Empat ratus joule!” perintah Suster Mia.
Tubuh Rendra terangkat lebih tinggi, dan kembali terhempas pasrah.
Seluruh tim medis terpaku. Menunduk pilu.
Dan di sudut sana, Melisa tersenyum. Tertawa. Terkikik. Terbahak. Kemudian sekejap larut dalam tangisan.
***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H