Terlalu heboh, mungkin.
Sepertinya ini adalah klimaks dari sembilan tahun perjalanan panjang. Pria yang membuatku jatuh hati, setiap kali aku memandang mata cokelatnya. Pria yang membuat jantungku berdebar setiap kali menyentuh kulitnya. Tak ada yang berubah dari sembilan tahun kami. Yang ada, aku semakin jatuh cinta!
Saat itu langit begitu biru. Begitu menjanjikan!
Tapi semua itu sepertinya telah berubah dalam lima detik saat kutangkap sosoknya keluar dari ambulans, dengan darah berleleran dari tubuhnya. Matanya terpejam damai, napasnya teratur, dan patuh ketika digotong menuju IGD. Aku, yang saat itu berjaga di rumah sakit, menjadi orang pertama yang harus menyelamatkan hidupnya. Persiapan pernikahan kami, yang demikian nyaris sempurna, takkan kubiarkan sia-sia hanya karena kematian Rendra.
Namun… wanita itu!
“Pria ini menabrak sebuah pohon besar di pinggir jalan. Dia bersama seorang pelacur paling laris di Kalijodo…,” aku sempat mendengar beberapa wartawan melaporkan langsung dari Rumah Sakitku, dengan redaksi berita yang sama.
Aku menyeringai. Mulai gusar dengar aras pikiran Rendra.
***
Dua hari kemudian.
Sukistinah, yang di wilayahnya dikenal dengan nama Rossa, setia menunggui tubuh Rendra yang mati tidak, hidup pun malas. Bahkan ketika Rendra dibawa ke ruang operasi karena patah tulang yang cukup serius, Sukistinah, ah, mari kita sebut Rossa, menguntit hingga ke ruang operasi. Ia berjalan tertatih karena cedera di bagian kakinya.
“Libur nggak jualan malam ini?” sindir Melisa sinis.