Mohon tunggu...
Anjar Meiaw
Anjar Meiaw Mohon Tunggu... Editor -

Kadang nulis | Kadang ngedit | Kadang nyanyi | Kadang ngemsi | Kadang shopping |

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Pusara Cinta

17 Desember 2015   13:11 Diperbarui: 17 Desember 2015   13:27 117
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“Aku ikhlas menjalani ini semua, seperti keikhlasanku menjalani perjuangan cinta kita.” Lanjut Rofa. “Demi Tuhan aku rela jika aku mati detik ini juga. Tanpa suami, tanpa cinta, tanpa kasih sayang yang menyelimutiku. Aku rela, Mas!”

“Rofa...” desisku. Ku genggam erat tangan Rofa.

“Jangan mengiba begitu. Aku yang seharusnya meminta belas kasihan padamu, sama seperti hari-hari biasanya. Kalau saja dulu aku tidak menyerahkan semuanya kepadamu, aku tidak akan mengemis cinta darimu seperti ini. Semua memang sudah terlanjur, dan aku ingin meminta pertanggungjawaban atas keterlanjuran itu. Paling tidak sebelum aku mati.”

Tuhan...

Tidak! Tidak mungkin aku menikahi Rofa. Menikahi Rofa berarti bercerai dari Zennida dan berpisah dari Mega dan Bintang. Aku tidak ingin berpisah dari Mega dan Bintang. Mereka anak-anak yang lucu dan pintar.

“Kalau sampai aku tahu kamu menikahi pelacur itu, aku akan menggugatmu dan kau tak akan bisa bertemu dengan Mega dan Bintang selama-lamanya!” Itu ancaman Zennida yang ia lontarkan hampir setiap hari. Dan mungkin ancaman itu akan menjadi kenyataan sebentar lagi.

“Aku sudah tidak memiliki siapa-siapa sekarang. Ayah dan Ibu meninggal. Aku jauh dari kampung halamanku. Di kota ini aku sendirian. Aku hanya ditemani seorang lelaki yang sangat aku cintai, yang sudah memiliki wanita lain. Sekarang aku dalam kesakitan dan hampir mati. Ah, parah sekali ya hidupku?” Rofa menceracau.

Aku mencecah rambut Rofa. Dan aku mengikrarkan jika aku mau bertanggung jawab atas perbuatanku padanya. Bukan karena kasihan seperti yang dituduhkan Rofa. Semua ini karena aku memang sangat mencintai Rofa, aku ingin memilikinya. Biarlah Zennida akan kuurus belakangan. Aku tidak yakin ia akan melakukan apa yang ia ancamkan padaku.

Aku dan Rofa akhirnya menikah. Tanpa ada pesta megah, tanpa ada teman-teman dan keluarga. Hanya ada wali hakim, dua saksi, dan mahar. Yang penting ia resmi menyandang gelar Nyonya Dirli Agung Wicaksono. Gelar yang ia idam-idamkan sejak pacaran denganku lebih dari sepuluh tahun yang lalu.

Aku melihat senyum Rofa merekah kembali. Air mata duka yang setiap hari memancar berubah menjadi air mata bahagia. Inilah bidadari yang aku impikan selama ini. Bidadari yang telah kembali lagi ke dalam pelukanku.

Kami kembali ke rumah setelah dokter menyatakan Rofa sudah bisa dibawa pulang. Aku tahu, ini usiran halus mereka karena sudah angkat tangan atas kesembuhan Rofa. Benar saja, Rofa mengeluhkan sesak nafas yang teramat dalam sesampainya di rumah. Kami pun kembali ke rumah sakit lagi dan Rofa menjalani pengambilan cairan di paru-parunya. Cairan itu berwarna kuning seperti nanah. Cairan kesekian yang dikeluarkan dari dalam paru-paru Rofa.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun