Mohon tunggu...
Anjar Meiaw
Anjar Meiaw Mohon Tunggu... Editor -

Kadang nulis | Kadang ngedit | Kadang nyanyi | Kadang ngemsi | Kadang shopping |

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Pusara Cinta

17 Desember 2015   13:11 Diperbarui: 17 Desember 2015   13:27 117
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pagi.

Dan aku masih menghirup udara yang sama hari ini. Udara pengap kota metropolitan. Udara yang sama sekali tidak meniupkan kebahagiaan untukku. Sedikit pun. Belaiannya kasar, mencabik-cabik seluruh komponen dalam tubuhku. Membuatku kian remuk dan hancur.

Ucapannya singkat, ringan dan datar ketika mengabarkan bahwa Rofa menderita kanker paru-paru stadium akhir. Ia tak mampu berkata lain saat kutanya apakah penyakit itu ada obatnya.

“Bahagiakan Mbak Rofa, Mas.” Begitu kata Dokter Yola, dokter muda yang menangani Rofa.

Aku tergugu, tak mampu menanggapi sedikitpun. Ku lirik tirai usang di ujung ruangan. Di balik tirai itu Rofa terbaring lemah menahan rasa sakitnya. Tubuhnya sekarang mengurus. Matanya cekung. Bibirnya letih. Wajahnya lelah.

“Itu berarti Dokter dan tim sudah angkat tangan?” tanyaku akhirnya.

Dokter Yola menggeser duduknya. Sedikit menghela nafas panjang. Aku tahu ini sulit untuknya menyampaikan padaku. Tapi aku mohon, sampaikanlah, Dok!

“Kondisi Mbak Rofa sudah sangat...”

“Parah?” pangkasku.

“Untuk saat ini yang kami bisa lakukan hanya mengambil cairan yang memenuhi paru-parunya. Dengan resiko memang nutrisi di dalam tubuhnya ikut terhisap. Kalau kemoterapi, maaf, kami tidak mampu melakukannya. Kondisi Mbak Rofa yang sangat lemah lebih beresiko untuk kemo. Seharusnya memang bisa, jika kondisi tubuh Mbak Rofa jauh lebih kuat dari pada kanker ini. Saya tidak tahu, apakah Mbak Rofa sedang mempunyai masalah sehingga kondisi tubuhnya kian melemah?”

Ucapan Dokter Yola menamparku keras-keras. Bersamaan itu terdengar dering telepon dari HP-ku. Aku menyingkir dari Dokter Yola dan ku terima telepon. Zennida marah-marah di teleponnya. Ia mengetahui keberadaanku ternyata. Dan Zennida mengancam akan menggugat ke pengadilan jika malam ini aku tidak pulang. Oh!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun