Aku berjalan terseok begitu melihat Rofa sudah keluar dari ruangannya. Aku langsung meminta izin suster untuk mendorong kursi roda Rofa. Rofa tersenyum padaku. Seperti kemarin-kemarin, Rofa tampak segar jika keluar dari ruangan itu untuk dikeluarkan cairan di dalam paru-parunya. Ia seperti tidak sedang sakit.
Kami kembali ke ruang perawatan Rofa. Sudah sebulan dia dirawat di sana. Kadang kutemani, tapi lebih sering sendirian. Ia baru saja kehilangan Ibunya setelah beberapa waktu yang lalu Ayahnya meninggal. Hanya aku tumpuan hidupnya saat ini. Hanya aku yang wajib menemaninya dalam suka maupun duka selama berada di kota ‘pengungsian’ ini.
“Mas Dirli.” Panggil Rofa lirih membuyarkan lamunanku yang silang sengkarut. “Aku sudah tahu semuanya. Aku sakit kanker kan? Dan tidak akan bisa sembuh?”Aku terbelalak. Bagaimana ia bisa tahu tentang itu?! Padahal aku sudah sedemikian merahasiakannya dari Rofa.
“Aku ikhlas menjalani ini semua, Mas. Aku ikhlas. Aku akan bahagia karena sebentar lagi aku akan bertemu Ayah dan Ibu di surga. Kami akan berkumpul kembali. Usiaku sudah mencapai angka tiga puluh tahun. Untuk apa aku lama-lama di dunia jika tidak ada lagi yang mencintaiku. Aku juga tidak mempunyai suami yang selalu memperhatikanku. Untuk apa lagi aku hidup?”
Rofa! Aku menjerit dalam hati. Aku mencintaimu lebih dari aku mencintai diriku sendiri. Jika aku tidak mencintaimu, aku tidak mungkin sedemikian bertahan lebih dari delapan tahun ini. Aku tidak mungkin mengungsikan engkau ke kota ini. Aku tidak mungkin mengunjungimu, meneleponmu, berbagi senyum padamu.
Aku mencintaimu, Rofa!
Delapan tahun yang lalu, kita terbang ke kota ini berdua. Padahal seharusnya malam itu aku sedang menikmati indahnya malam pertama bersama Zennida. Kau menangis selama di perjalanan. Aku tahu, itu adalah tangis duka karena aku menepati janjiku pada Zennida.
Saat SMA aku menjalin cinta dengan Zennida dan kami ingin menikah pada saat kami sudah lulus kuliah nantinya. Kami kuliah di kota yang berbeda. Aku di Jogja, Zennida di Solo. Dan di Jogja aku menemukanmu. Kita saling berkasih tanpa batas. Hingga semua kau serahkan kepadaku. Semuanya.
Aku kembali ke kampung halamanku dan menggelar pesta perkawinan nan megah bersama Zennida. Aku tahu, dalam doa yang kau panjatkan di hadapan kami, terselip rinai air mata. Dan air mata itu mengalir setelahnya hingga kini. Air mata itu tidak pernah surut. Semua mengisyaratkan atas penantian panjangmu padaku, sang lelaki pecundang.
Harapanmu hanya satu, Rofa. Yaitu menikah denganku. Puluhan lelaki yang datang melamarmu kau tolak. Padahal aku bukan apa-apa jika dibandingkan mereka. Mereka lebih mempunyai masa depan cerah, mempunyai harta berlimpah, dan memiliki cinta seutuhnya padamu. Tidak terbagi-bagi sepertiku.