"Aku salah karena sudah memilih jadi penulis yang hanya mengejar uang semata, tanpa berpikir dampaknya."
Ah, aku tahu ke mana arah pembicaraan itu. Beberapa waktu lalu, kami terlibat perdebatan luar biasa tentang hal tersebut. Dia bahkan menertawaiku yang tetap menulis naskah novel cetak menggunakan bahasa santun dan berbudaya, tidak seperti dirinya yang menghasilkan banyak uang dengan menulis cerita dewasa di platform digital. Baginya, aku terlalu kuno karena masih memegang prinsip konvensional dalam menerbitkan novel sementara teknologi sudah berkembang luas.
"Kita mau mulai perang lagi soal ini?" bisikku lelah.
Dian menggeleng cepat. "Eggak, Ta."
"Lalu?"
"Kemarin kamu bilang kalau tulisan kita akan dipertanggungjawabkan di akhirat. Ternyata, aku tidak perlu menunggu ajal menjemput dulu untuk menerima hukumannya," sahut Dian kembali berurai air mata.
Aku mengernyit. "Maksud kamu?"
"Novia, Ta."
"Novia ... anakmu? Kenapa dia?" Aku sungguh tak kuasa melihat air matanya. Kuambil segelas air mineral dari dapur lalu kuberikan kepadanya. "Minumlah dulu. Tenangkan dirimu, baru cerita lagi."
Ketika Dian meminum airnya, aku meneguk kopiku. Batin berkecamuk, menerka yang seharusnya tidak perlu diterka sebab Dian akan mengatakan semuanya.
"Novia hamil."