~
Berikut cerita berikutnya dengan judul  sekuel *Darah Tinggi*
Aku melemparkan benda persegi panjang  pipih itu ke atas tempat tidur. Mendengus dengan napas kasar. Kembali kutatap ponsel yang tergeletak itu. Tanganku pun ke atas kepala mengengam rambut dan menariknya frustasi. Kesal dan kecewa dan entah kata apa la yang cocok untuk menggambarkan isi hatiku saat ini. Hal ini tak lepas diakibatkan setelah membaca hal yang tertulis di smartphone tersebut.
Dasar suami tak punya hati, seperti batang pisang berjantung tapi tak punya hati. Makiku dalam hati. Rasanya dunia pun akan mengamuk jika memiliki suami seperti itu. Apa dia pikir seorang istri hanya untuk dikhianati. Menurutku jika memang sudah tak suka, lepaskan. Jadilah laki-laki gentle. Dasar egois.
Dadaku panas, napasku memburu. Emosiku meledak. Semua alat perhiasan di meja rias aku hantam dengan menyapukan tangan sehingga berserakan di lantai. Bahkan guci keramik yang baru dibeli berada di sudut kamar tak luput dari amukanku. Bertebaran pecahannya. Membuat kamar ini bak kapal pecah.
Apa aku puas, tenang? Setelah membuat kewalahan IRTku nantinya membersihkan kamar ini. Tidak! Aku ingin berteriak. Biar orang tau. Biar heboh. Biar yang namanya suami itu tahu diri bahwa ia bukan suami yang baik. Biar orang tau sahabat sampah itu siapa! BIAR!
Kepalaku terasa pusing, lelah. Seperti biasa jika emosiku naik akan berpengaruh pada kesehatanku. Secepat kilat kuambil tensimeter digital di laci nakas. Aku memang standbye dengan alat itu. Yah, karena tensiku selalu cepat naik.
Segera melilitkan ke tangan memencet tombol star. Lalu angka digital itu berjalan dan berhenti pada angka 170/100. Tu kan naik lagi. Segera mencari obat penurun tensi yang biasa aku minum dilaci, ternyata habis, hanya ada bungkusnya.
Kepalaku tambah berat dan agak oyong. Segera berteriak.
"Bibi! Bibi!"
"Ya, Nya" sahutnya datang tergopoh-gopoh. Menyapukan pandanganya dan geleng-geleng kepala. Terbayang kerjaannya lagi.