"Tapi...," lirih Sinta berucap. Mata sembabnya memandang lekat.
"Tapi apa? sampai kapan dirimu sanggup bertahan dengan Mas Aldi dan mertuamu itu?" pungkasku agak ketus.
Mata Sinta yang basah airmata membesar memandangiku.
"Layangkan gugatan cerai dan tenangkan dirimu di kampung, bersama keluarga tercinta itu akan membuatmu cepat memulihkan hati, ingat dirimu masih muda, cantik dan berhak untuk bahagia!" paparku lagi dengan meyakinkannya serta mengengam tangannya menguatkan.
Sinta hanya terdiam, mungkin mencerna dan mempertimbangkan perkataanku.
Sepulang dari rumah Sinta, aku pergi ke kampus sebentar mengurus pengajuan proposal penelitian akhirku. Lanjut pulang ke tempat kos. Pintu kos telah terbuka, terlihat pria yang beberapa waktu ini dekat denganku lagi asyik dengan handphonenya.
"Sudah lama di sini?" tanyaku padanya.
"Lumayanlah," jawabnya sambil meletakkan ponselnya.
"Selesai kalian bertengkar, seperti biasa, Sinta mengabariku, dan Mas Aldi tau? Aku berhasil membujuknya agar segera mengugatmu, selesaikan sidang perceraian dengan cepat dan pembagian gono gini kalian dan jangan lupa uang hasil penjualan vila untukku sesuai janjimu ya Mas." Senyuman manis aku terbitkan.
Mas Aldi hanya mengganguk setuju serta berdiri menghampiriku. Memeluk erat.
Maaf Sinta, kau salah pilih sahabat. Â