Sampai di rumah Sinta, terlihat pemandangan yang berantakan. Terpampang di depanku sepertinya mereka siap bertengkar hebat, aku lihat Sinta terduduk menunduk bersimpuh, menangis tersedu sambil tangannya memegangi pipi. Mungkin bekas tamparan.
Segera setengah berlari memeluk dirinya.
"Menangislah," ucapku singkat.
Sinta bertambah menangis lebih nyaring, tersedu sedan. Bahunya sampai berguncang-guncang. Aku hanya memeluknya semakin erat, biarlah memberi waktu untuk melepaskan segala kedukaannya yang menderanya.
Setelah agak terlihat tenang, melonggarkan pelukan. Memandangnya sambil mengusap airmatanya.
"Apa kau tau wanita yang kini bersamanya?" tanyaku.
"Entahlah, aku belum sempat menyelidikinya tapi pengakuannya tadi cukup lebih dari bukti apapun." Sambil mengusap air matanya ia berkata.
"Dan kau percaya pengakuannya?" ucapku sambil memandangi dengan intens.
"Ya, akhir-akhir ini dia sangat banyak berubah, aku sudah curiga," jawab Sinta sambil menarik hidungnya yang meler akibat menangis.
"Tadi, ia marah besar karena aku melarangnya menjual vila kami yang di puncak, entah untuk apa uang penjualan vila tersebut mungkin untuk wanita itu," jelas Sinta.
"Jika rasanya tak ada lagi yang perlu  dipertahankan, maka lepaskanlah! Perpisahan mungkin yang akan membuat kalian masing-masing bahagia," tandasku.