Andrian mengintip dari kaca ruangan para pendemo yang bergerombol, terlihat agak kecil karena dari ketinggian. Hampir lima ratusan--mereka adalah karyawan perusahaannya. Suara riuh, dengan suara-suara bising teriakan permintaan tuntutan mereka agar dipenuhi. Barisan depan ada yang memegang spanduk bertulisan dengan ukuran besar minta agar segera mengeluarkan gaji mereka. Bisa dimaklumi, hidup mengandalkan gaji sebagai sumber kehidupan. Tuntutan hidup mendesak, himpitan ekonomi berat. Kebutuhan perut tak bisa ditunda.
Andrian mengacak rambut, serta mengusap wajah berulang kali. Stres melandanya. Melonggarkan dasi, agar bisa sedikit bernapas lega walau  ia tahu itu tak juga bisa menyelesaikan masalah berat. Dengan hanya berdiri di tepi jendela kaca lalu duduk lagi ke kursi. Mengurut pelipis, kepala rasanya berdenyut. Berulang kali hal itu lakukannya.
Â
Sebenarnya hampir setengah tahun perusahaan Andrian mulai terombang ambing. Perusahaan mengalami defisit neraca keuangan. Sehingga mengakibatkan gaji karyawan tak bisa dibayarkan selama tiga bulan.
Harga saham anjlok karena suatu hal. Hingga membuat para pemegang saham menjual murah saham mereka. Angka permintaan sedikit, sedangkan penawaran tinggi. Belum lagi kebijakan pemerintah yang berubah-ubah.
Sebelum itu juga, Para investor telah mendesak para dewan direksi---jajaran perusahaan untuk mengadakan Rapat Umum Pemegang Saham(RUPS) luar biasa. Mendesak mencari solusi atas permasalahan perusahaan induk yang berpengaruh signifikan pada perusahaan cabang.
Bahkan posisi Andrian sebagai Direktur Utama terancam karena mereka menganggapnya tak becus mengelola perusahaan.
Memang Andrian tidak ahli serta memiliki ilmu serta kemampuan terbatas. Keputusan yang sering diambilnya justru membuat kalah dengan pesaing. Tidak berbakat jadi pemimpin. Karena keegoisan serta ingin kekeh mempertahankan posisi tertinggi turunan jabatan dari orang tua.
Tak disangka akan mengakibatkan keadaan sefatal ini, perusahaan kondisi sekarat. Andrian tak bisa menyelesaikan masalah yang beruntun datang. Ingin mengejar prestise dan uang pemasukkan yang besar membuatnya begitu tergiur berambisi untuk jadi pimpinan.
Timbul penyesalan, mengapa ia tak mengikuti saran sahabatnya Danu yang dari semula meragukan kemampuannya untuk memimpin perusahaan yang susah payah papanya dirikan. Kini mencapai ke titik kehancuran.
"Segala sesuatu itu akan lebih baik jika ahli dibidangnya akan mantap bro, tetapi jika tidak tunggu saja kehancuran,"
Tergiang kembali ucapan Danu tersebut di telinganya.
"Basikmu kan dibidang fashion dan model, ini banting stir ke bisnis pertambangan, mana nyambung," tambah Danu saat itu.
Andrian berkilah dengan menjawab la akan belajar dan beradaptasi dengan bidang bisnis ini.
Mengingat perkataan Danu membuatnya makin frustasi. Andrian menekan tombol interkomnya.
"Monika, segera ke ruangan saya!" ucapnya tegas.
Tidak lama kemudian sekretaris yang sekian tahun bekerja di kantornya tersebut memasuki ruangan.
"Ya, Pak. Ada yang bisa saya bantu."
"Pendemo didepan takutnya makin tak terkendali, menurutmu kita harus bagaimana? Ada ide?" Andrian benar-benar tidak bisa berpikir lagi. Ia merasa buntu dari solusi permasalahannya. Ia memutuskan minta pendapat Monika, karena ia dengar wanita tersebut cerdas.
Monika membenarkan  kacamatanya, keningnya berkerut, tandanya ia sedang berpikir keras. Dengan cepat melangkah serta mencondongkan  badannya ke arah jendela.
"Menurut saya, orator dan yang menggerakkan demo kita panggil dan bernegosiasi. Kalau perlu bagi imbalan untuk dia mengkoordinir karyawan lainnya untuk bubar serta bisa menunggu sebulan lagi. Waktu tenggang  tersebut bapak usahakan mendapatkan suntikkan dana pinjaman untuk bisa kita bergerak lagi dan mengambil lankah selanjutnya. Ini masih beresiko memang. Tapi saya bisa jamin dalam satu bulan saya bisa bantu itu." Mata monika berbinar dan tangannya mengepal di depan dadanya meyakinkan.
Andrian terdiam, mencoba merenungi apa yang dikatakan Monika ada benarnya juga pikirnya. Selama ini dia tidak begitu suka pada sekretarisnya ini. Selain penampilannya yang dianggap Andrian norak sehingga Andrian pernah berencana memecatnya tetapi dilarang oleh Danu. Karena kata Danu mendiang papa Andrian sangat sayang pada Monika. Monika begitu antusias dengan penuh percaya diri sementara ia ada keraguan dengan masa tempo satu bulan tersebut.
Bagaimana nasibnya berikutnya, next-kah ceritanya?
~
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H