"Segala sesuatu itu akan lebih baik jika ahli dibidangnya akan mantap bro, tetapi jika tidak tunggu saja kehancuran,"
Tergiang kembali ucapan Danu tersebut di telinganya.
"Basikmu kan dibidang fashion dan model, ini banting stir ke bisnis pertambangan, mana nyambung," tambah Danu saat itu.
Andrian berkilah dengan menjawab la akan belajar dan beradaptasi dengan bidang bisnis ini.
Mengingat perkataan Danu membuatnya makin frustasi. Andrian menekan tombol interkomnya.
"Monika, segera ke ruangan saya!" ucapnya tegas.
Tidak lama kemudian sekretaris yang sekian tahun bekerja di kantornya tersebut memasuki ruangan.
"Ya, Pak. Ada yang bisa saya bantu."
"Pendemo didepan takutnya makin tak terkendali, menurutmu kita harus bagaimana? Ada ide?" Andrian benar-benar tidak bisa berpikir lagi. Ia merasa buntu dari solusi permasalahannya. Ia memutuskan minta pendapat Monika, karena ia dengar wanita tersebut cerdas.
Monika membenarkan  kacamatanya, keningnya berkerut, tandanya ia sedang berpikir keras. Dengan cepat melangkah serta mencondongkan  badannya ke arah jendela.
"Menurut saya, orator dan yang menggerakkan demo kita panggil dan bernegosiasi. Kalau perlu bagi imbalan untuk dia mengkoordinir karyawan lainnya untuk bubar serta bisa menunggu sebulan lagi. Waktu tenggang  tersebut bapak usahakan mendapatkan suntikkan dana pinjaman untuk bisa kita bergerak lagi dan mengambil lankah selanjutnya. Ini masih beresiko memang. Tapi saya bisa jamin dalam satu bulan saya bisa bantu itu." Mata monika berbinar dan tangannya mengepal di depan dadanya meyakinkan.