"Kenapa berhenti, Ma?" tanya anakku. Karena sepeda motor yang kami naiki mendadak berhenti.
   "Nggak tau juga nih, kenapa ya?" jawabku sambil menepikan posisi ke sisi jalan.
   Mencoba menstarter kembali, namun motor bebek berwarna pink kesayangan yang telah lima tahunan setia menemani aktivitas keseharian itu tidak juga menunjukkan tanda-tanda akan mau bergerak kembali.
   "Minyaknya masih ada kok," lirihku seperti bergumam setelah memeriksa indikator minyak yang terpampang di depan sepeda motor tersebut.
   "Turun dulu Lika, jangan-jangan akinya soak nih soalnya dah lama tak diganti. Mama, mau coba engkol dulu ya," ujarku.
   "Coba telpon Papa, Ma," Ucap Alika sambil turun dari kenderaan.
   "Mama kelupaan bawa Hp, mau cepat-cepat tadi. Takut adekmu ngikut," pungkasku sambil mendirikan kaki dua sepeda motor.
   Alika mengaji di rumah seorang nenek yang tinggal bersama suaminya. Anak-anak mereka sudah berkeluarga dan merantau ke luar kota. Nek Asih biasa kami memanggilnya. Wanita sepuh tersebut sangat sabar dalam mendidik dan membagikan ilmu agama kepada muridnya. Sehingga banyak anak-anak yang suka belajar dengan beliau. Dari lingkungan tetangga sekitar hingga dari yang agak jauh. Kami menempuh perjalanan sekitar sepuluh menit untuk mencapai rumah Nek Asih.Â
Jalan menuju rumahnya melalui jalan utama yang ramai, tetapi akan berbelok menuju gang yang agak sepi dari permukiman masyarakat. Anak-Anak datang mengaji pada sore hari menjelang Magrib dan setelah Isya barulah dijemput kembali. Mereka di sana selain mengaji, sholat berjamaah diwajibkan juga. Dan celakanya malam ini dalam perjananan pulang menjemput Alika mengaji, sepeda motor berulah pula. Di gang yang sepi dan agak gelap serta kedua sisi jalan hanya ada semak belukar dianya mogok. Untuk menuju bengkel sepertinya akan mendorong dengan jarak tempuh lumayan masih jauh.
   Baru saja kakiku ingin mengengkol, datang dua orang pria dengan penampilan urakan menghampiri. Yang dari tadi karena fokus dengan sepeda motorku, hingga tidak menyadari kedatangan mereka yang tiba-tiba.
   "Kenapa, Bu?" tanya salah seorang dari mereka.
 Dapat kutaksir berusia tiga puluhan, brewokan serta tercium aroma alkohol ketika ia berucap menyapaku tadi.
   "Mogok mendadak," jawabku sekenanya.
   Memasang sikap waspada. Serta menarik Alika untuk berada di belakang tubuhku.  Â
   "Boleh juga ni, Ko." Teman pria yang berbaju kaos hitam tersebut ikut bersuara, sambil  mengerlingkan matanya ke arah teman yang dipanggil `Ko` olehnya.
   Aroma bau minuman yang memabukkan juga tercium jelas dari mulutnya ketika ia berkata. Mataku menatap mereka dengan dingin, dapat kutangkap gelagat yang tidak baik dari mereka.
   "Mau apa kalian?" Ucapku dengan intonasi suara yang agak tinggi.
   "Bu, mau aman? Kasih aja uang sama ponsel Ibuk sama kami," ujar pria yang berwajah brewok dengan matanya sambil menyapu sekeliling, seakan-akan memastikan kondisi yang memang sepi.
   "Saya tak bawa uang dan Hp" jawabku agak lirih.
   Ternyata sepertinya aku menghadapi preman kampung, yang hobi mabuk dan memalak masyarakat sekitar.
   Alika yang berada di belakang tubuhku, tiba-tiba merangkul pinggangku.
   "Ma, takut ....," cetusnya pelan dengan buliran bening lolos jatuh dari matanya.
   "Udah Lika, diam jangan nangis. Ada Mama di sini," kataku menenangkannya sambil memegang pundaknya.
   "Jadi apa yang dapat Ibu kasih, Buk?" tanya pria berkaos hitam dengan tidak sabar.
   "Pokoknya saya tak ada bawa apa-apa," ucapku menegaskan.
   "Honda ni aja, ditinggalkan Buk." Pria brewokkan mengancam dengan pandangan dan wajah yang seram.
   "Enak saja kalian, saya tidak akan menyerahkan Honda ini," balasku keras.
Kedua pria tersebut mencoba merebut sepeda motor. Kucoba menahannya dengan kedua tangan. Terjadilah saling tarik menarik diiringi tangisan Alika yang semakin kencang.
   "jangan coba-coba melawan, kalau tidak kami bertindak kekerasan, mau Ibuk?"Ancam salah satu dari mereka.
   "Kalian kira, saya takut." Balasku dengan suara lantang serta menaikkan jilbab panjang ke atas agar gerakkanku leluasa. Untungnya hari ini stelanku pun menggunakan baju tidur bercelana panjang, bukan gamis yang biasaku kenakan.
   "Sini, kalian!" ajakku kearah tengah jalan. Mencari tempat yang lapang agar lebih bebas.
   Mereka mengikuti dengan menyeringai.
   "Bisa sekalian kita kerjain ni, Ibu satu ni sepertinya yang minta, Ko" ujar pria berkaos hitam.
   Ucapannya mampu membuat emosiku terprovokasi. Memasang kuda-kuda dengan sikap siaga.
   "Maju kalian sekaligus!" Tantangku dengan pandangan dingin mendominasi. Sambil melirik Alika yang di tepi jalan, masih dengan tangisannya. Yang paling kutakuti bukan kedua orang pria tak dikenal ini. Tapi ketakutan dan trauma pada anakku yang ingin kuelakkan.
   Tiba-tiba kedua pria tersebut maju bersamaan ingin menangkap tubuhku.
   Dengan sigap menghindar serta mengarahkan kepalan tinju ke arah wajah pria brewok, sementara kakiku layangkan dengan cepat menuju perut pria berkaos hitam. Mereka terhuyung terkejut akan serangan tiba-tiba yang mereka peroleh.
   Pria brewok mengelap wajahnya, dan membuang ludah. Menatap ke arahku dengan pandangan tajam. Bersiap akan menyerang kembali.
   "Apa kalian mau lebih babak belur lagi?" tanyaku dengan sedikit menaikkan dagu,jumawa.
   "Maju sekaligus, biar cepat," tandasku. Berlama-lama disini membuatku malas. Mengingat si bungsu yang kelamaan ditinggal akan menangis nantinya.
   Pria berkaos hitam memberi kode kepada temannya. Mereka beriringan ingin memblokir pergerakan tubuhku. Dengan secepat kilat kaki beraksi menendang bagian bawah perut si brewok, membuatnya mundur dan mengerang kesakitan. Dan hal itu membuat pria berkaos hitam berkesempatan berhasil memeluk pinggangku dari belakang dan mencoba menahan tubuhku bergerak.
   "Mama!"
   Teriakan Alika membuatku sadar dengan cepat  harus membalikkan keadaan.
   Menarik tangan ke atas melepaskan dari blokade si pria berkaos hitam, serta menghantamkan siku ke mukanya, Sehingga pegangannya terlepas. Sebelum si lelaki brewok ikut campur yang sedari tadi meringis menahan sakit pada alat vitalnya akibat dari tendangan sebelumnya. Kuhajar pria berkaos hitam dengan beberapa pukulan. Tak mampu berkelit, karena tinjuku secepat kilat mengarah ke pipi bawah matanya.
   Bruk!
   Suara tubuh yang ambruk, seiring dengan gerakan tendangan penutup yang ku hadiahkan tepat mengenai selangkangannya. Biar nyahok sekalian, geram kali hatiku.
   Membersihkan kedua pundak dengan  sapuan telapak tangan. Serta  bertepuk tangan sebentar. Meniup ke arah telapak tangan yang baru siap bertepuk tadi. Seraya ku berkata,
   "Mau lagi? maju kalian!" ancamku dengan suara lantang sambil memperbaiki jilbab panjangku yang berantakan.
   Memajukan langkah ke arah mereka, yang pria brewok tergolek berusaha bangkit. Serta menarik tangan temannya yang masih terkapar memegang bagian bawahnya yang sakit.
   "Cabut!" titahnya kepada temannya.
Lalu berjalan memutarbalikkan badan dan  membelakangiku dengan jalan sempoyongan.
   "Lika, nggak papa, Nak." Ucapku sambil menghampirinya dan memeluknya.
   "Makanya Lika mama suruh masuk perguruan silat nak. Jika menghadapi situasi seperti ini, enak kita. Lihat Mama tadi. Mantapkan. Percuma mama sabuk coklat jika ngadapin dua orang tadi tak sanggup" Ungkapku pada putriku. Alika memang lemah dan cenggeng yang membuatku agak kesal. Berbeda denganku yang tomboy, ia terlahir lebih kemayu dan lamban.
   Sudah beberapa kali membujuknya untuk masuk perguruan silat "Walet Putih". Ia selalu menolak dengan alasan masih kecil dan tak kuat katanya.
   Melanjutkan mengengkol sepeda motor, dan akhirnya menyala dengan beberapa hentakan kaki. Menuju ke rumah dengan sedikit menambah kecepatan dan tak sabar menceritakan pengalaman yang baru saja kami alami kepada suamiku yang sedari tadi masih sibuk berkutat dengan kerjaan kantornya yang belum selesai. Hal itulah yang membuatku mengantikan tugasnya yang menjemput Alika mengaji hari ini.
   "Ma, Mama .... ! bangun," terdengar sayup suara Alika memanggilku.
   Badanku seperti digoyang-goyang.
   "Hm ... apa Lika?" Jawabku dengan suara parau dan mata yang setengah terbuka. Ternyata ikut ketiduran ketika mengajak Syamil, si bungsu tidur siang.
   Duduk dan mengumpulkan kesadaran, ternyata baru menyadari telah bermimpi menjemput Alika mengaji dan berkelahi dengan preman. Mimpi yang fantastis dengan kemampuan silatku yang hebat. Andai itu kenyataan, Pasti sangat membanggakan.Sayangnya Cuma mimpi ternyata. Tanpa sadar menepuk jidatku sendiri sambil tersenyum.
   "Ma, masakkan ceplok telor," desak Lika yang dari tadi melihat dengan tatapan aneh.
   "Ya, bentar," jawabku lemas.
   Berniat dalam hati nanti selesai masak telur. Akan menceritakan mimpi tersebut pada Alika agar dia mau ikut perguruan pencak silat.
~
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H