Tidak, bukan aku yang membunuhnya. Tubuhku bergerak sendiri.
"Makcik, Makcik!" teriakku sembari meletakkan tubuh kaku itu ke lantai. Aku menepuk-nepuk pipinya. Lalu memperhatikan sekeliling ruangan telah berantakan seperti terhantam badai. Bahkan atapnya pun sudah tinggal separuh, memberi akses purnama menyinari kami. Aku bingung serta kehabisan tenaga dan semuanya menjadi gelap.
*** Â
"Syukurlah, Nak Syarifah sudah sadar." Kalimat itu keluar dari bibir istri kepala desa ketika mataku terbuka.
Beberapa teman kerjaku juga ada di sampingnya. Terlihat gurat kecemasan dari wajah mereka yang menatapku.
Aku mengenali ruangan ini, Puskesmas tempatku bekerja. Di tanganku pun ternyata telah terpasang infus.
Mendadak kami menoleh ke arah pintu ketika kepala desa dengan seorang pria tua berpeci putih mendekatiku. Istri kepala desa dan teman-teman pun memberi ruang pada mereka berdua.
"Nak, Syarifah. Alhamdulillah kamu selamat dari perbuatan Makcik Edah, kami sudah lama curiga padanya, ternyata benar itu bukan Makcik Edah yang kami kenali dulu. Kami menemukanmu di atas hutan bukit, dalam keadaan pingsan," terang kepala desa.
"Satu hal lagi, setelah tenaga Nak Syarifah pulih. Menurut Pak Ustaz Saleh ini, kamu itu ketempelan. Beliau akan menolong melepas makhluk itu dari diri Nak Syarifah," sambungnya.
Aku hanya bisa mengulas senyum tipis menyapa Pak Ustaz Saleh yang tersenyum karismatik serta mengangukkan kepalanya itu.
Pikiranku masih kalut, menyadari kali ini aku selamat karena ternyata ada kekuatan yang lebih besar lagi yang juga berminat mengincar  ragaku.