Mohon tunggu...
Megawati Sorek
Megawati Sorek Mohon Tunggu... Guru - Guru SDN 003 Sorek Satu Pangkalan Kuras Pelalawan Riau

Seorang guru yang ingin menjadi penulis

Selanjutnya

Tutup

Ramadan

Kisah Anak Rantau

13 April 2023   06:52 Diperbarui: 13 April 2023   06:53 1400
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mataku terpaku pada jalanan yang basah. Air tergenang di beberapa jalan yang berlubang. Tetes-tetes hujan masih jatuh beriringan bersama embusan angin sapai-sapai sore ini.  Gerobak jualan gorengan pun urung kukeluarkan dari perkarangan menuju pasar kaget Ramadan.

Ramadan sudah memasuki sepersepuluh terakhir. Masa sibuk manusia semakin meningkat. Baik itu amalan ibadah maupun persiapan menjelang lebaran. Saat yang lainnya sibuk dengan cerita tentang THR dan beli ini-itu, tidak denganku. Aku sedang berusaha untuk menabung agar lebaran kali ini bisa mudik. Namun, sepertinya harapan jauh dari kenyataan.  Hidup tak bergulir ke perubahan yang lebih baik. Pencarian masih sama, sulit dan penuh perjuangan.

Lima tahun menahan rindu akan kampung halaman. Berkomunikasi dengan sanak keluarga hanya lewat ponsel. Baru saja semalam aku berkomunikasi dengan mak di kampung.

"Apa kabarmu, Le'?" Suara Mak yang lembut dan mendayu itu menyapaku setelah kuucapkan salam.

"Alhamdulillah, baik, Mak."Aku menyandarkan badan ke dinding . Menahan rindu yang ingin menemukan tuannya. Ingat tentang semua hal di kampung. Suasana rumah dan segala perhatian Mak.

"Le' Ndak pulang lebaran tho?" tanya Mak dengan suara serak.

Aku terdiam, merasa mata ini mulai menghangat.

"Ndak libur, Mak?" Suaraku mulai sengau.  Aku berbohong, maafkan aku Mak.

"Lho, masak lebaran ndak ada liburnya?" Mak seakan tak percaya.

"Itu, cuma tiga hari, Mak, trus kalau akunya pulang habis waktu di jalan aja kan, Mak?" Kebohongan memang akan melahirkan kebohongan lagi. Aku sedang melakukannnya. Mengaku bekerja di perusaahan padahal hanya penjual gorengan yang kadang luntang lantung kehabisan modal dan tak punya biaya hidup. Di rantau orang terkadang pernah dalam satu hari aku harus banyak minum air putih agar perut berhenti meronta minta di isi. Hidup di rantau jika pulang kampung setidaknya harus membawa oleh-oleh dan cerita yang membanggakan, bukan seperti aku ini yang  masih tak berpunya dan mirisnya lebih parah dibanding jika kutetap memilih berada di kampung.

Jika di desa hanya mengharapkan kerja menjadi buruh tani atau buruh karet. Lulusan SMA maupun tanpa lulusan semuanya bekerja demikian. Emak pernah melarangku merantau. Sebagai penganti abah yang telah tiada aku merasa bertanggung jawab ingin menaikkan taraf hidup. Emak sangat takut dengan kehidupanku di kota nantinya. Merantau dengan membawa sejuta harapan. Impian setinggi langit merubah kehidupan ke arah lebih baik.

Ingatanku terlempar saat berpamitan kepada Mak.

"Akunya akan kerja keras, Mak, mohon restu, Mak," bujukku saat itu dengan meraih kedua tangannya yang keriput dan menempelkannya ke kedua pipiku. 

Wajah teduh Mak tersenyu, mata tuanya yang sudah mulai buram berkaca-kaca. Ia meraih bahuku dan memeluk dengan sangat erat. Sebenarnya ada sedikit keraguan meninggalkan Mak, tetapi ada hidup yang harus diubah. 

Suara sambungan telepon yang tadinya hening hanyut dengan pikiran masing-masing. Kini Mak berucap kembali.

"Le',  ya udah, tahun depan, bisa usahakan pulang tho, Le'?" tanya Mak. Terdengar hela napas beratnya.  "Mak rindu."

Iya Mak hal yang sama aku rasakan pada wanita yang selalu merajai hatiku itu. Kasih sayangmulah yang membuatku sebenarnya tak betah di perantauan ini ditambah keadaan yang tak selalu bersahabat. Tetapi, Mak, aku pulang malu, tak pulang rindu.

Terbayang di pelupuk mata ini saat takbir berkumandang tinggal beberapa hari lagi. Pawai bedug dan takbir, saling berkunjung akan dilakukan.  Lebaran  yang dinanti akan terasa indah dengan kebersamaan. Ingin pulang, tapi tak cukup punya uang. Aku hanya sendirian di perantauan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ramadan Selengkapnya
Lihat Ramadan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun