Aku tersentak bangun ketika alarm pada ponsel berbunyi nyaring. Menandakan waktunya untuk bersiap-siap dapat giliran tugas malam ini. Pukul 03.00 aku dan si Asep dan Darman akan berkeliling desa untuk membangunkan sahur. Sebagaimana pemuda lainnya. Kami para pemuda memang bisa diandalkan jika tugas demikian. Status pengangguran masih melekat padaku, jadi tak jadi soal jika disuruh-suruh oleh aparatur desa. Lumayan, terkadang dikasih uang capek seala kadarnya.
Hidup di pulau  Jawa yang padat dan persaingan tinggi membuat aku merantau ke Riau. Tepatnya di sebuah daerah yang banyak lahan sawit bahkan ada perusahaannya. Niat hati ingin menjadi karyawan di PT tersebut apalah daya masih belum diterima. Selain tidak memiliki kemampuan, paman Gino tempatku menumpang tidak memiliki koneksi orang dalam juga. Zaman sekarang memang susah mencari kerja. Tamatan sarjana aja demikian, apalah sekaliber aku yang hanya tamatan menengah atas.
"Sep, Man, bangun. Yok, keliling," aku mengerakkan tubuh kedua temanku itu. Asep bergelung memeluk bantal guling, sedangkan Darman tidur dengan gaya telentang dengan wajah yang ditutupi dengan lengannya yang bersilang. Kepala botaknya terlihat memantul licin terkena cahaya lampu 10 watt di pos ronda ini.
"Bangun!" seruku dengan keras. Kali ini karena mereka hanya merespon sekilas dan kembali melanjutkan tidurnya.
"Buruan, woi, bangun, beosk THR kalian aku yang ambil ya," ancamku. Kesabaranku mulai habis. Akibat lambat tidur makanya bangunnya susah.
"Iya, iya." Asep duduk dan mengusap wajah dengan kedua telapak tangannya. "Man, bangun," ucap Asep menyenggol kaki Darman.
Aku telah berdiri di tepi pos ronda. Nyamuk berdenging di telinga. Untungnya kami bertiga tadi memakai lotion anti nyamuk. Darman dan Asep telah pun siap ikut berdiri.
"Kita mulai arah mana, senter bawa, apa senter hape aja?" tanya si Asep. Pemuda kurus itu memang agak penakut.
"Serah," jawab Darman pelan, kelihatan masih menguap dan menahan kantuk. Matanya masih menyipit dengan pergerakan tubuh yang oleng. Kedua tangannya telah memegang kaleng besar dan kayu.
"Bawalah ya, nanti kita lewat situ."Asep mengusulkan dengan jari menunjuk daerah sepi jalan setapak di kiri kanannya banyak pohon sawit.
Asep mengapai senter yang tergantung di tiang pos ronda. Lalu berjalan ke arah sisi pusat desa yang ramai permukimannya. "Siap arah sini, baru kita ke sana, daerah perkebunan, rumahnya kan satu-satu cuma di sana, tuh," pungkas Asep.
Aku dan Darman setuju dan mensejajarkan langkah dengannya. Bertiga kami berkeliling sambil berteriak mengucapkan kata "Sahur" sesekali kami memukul kaleng menimbulkan suara bising.
"Saahuuur, saahuuur, saahuuur!" teriakku menggema di tengah keheningan malam.
"Teng, tang, teng, tang, tent tang!"Darman memukul kaleng kuat-kuat.
Kupikir apalah aparat desa masih suka gaya tradisional seperti ini, mungkin asyik juga ya dan kami pun dapat kerjaan jadinya. Padahalkan speaker masjid bisa tuh teriak-teriak ngebangunin para warga.
Setelah selesai sekitar dua puluh lima menit kami mengitari jalan desa yang disemenisasi. Kami kembali ke arah pos ronda dan melanjutkan ke arah berlawanan dari tempat tadi. Kali ini hanya tanah kuning yang mengeras dan jika hujan akan becek. Kawasan ini adalah sebagian lahan sawit pribadi dan ada ada juga berupa kerja sama dengan perusahaan dengan cara kemitraan usaha kelompok tani (KKPA).
Udara menjadi lebih dingin. Suara hewan malam terdengar. Sesekali suara derak dedaduan yang saling bergesekan tertiup angin juga menemani perjalanan kami. Aku merapatkan jaket dan Asep yang semula melintangkan kain sarung menganti posisi menjadi menutupi bagian badannya. Darman berjalan menunduk saja. Pemuda botak itu sepertinya masih mengantuk. Kawasan permukiman penduduk yang rumahnya agak jarang akan dijumpai setelah kami melewati kebun sawit ini.
"Apa itu?" Aku menarik Asep dan mengarahkan tangannya yang memegang senter ke arah yang kutunjuk. Kami serempak memicingkan mata dan siaga.
"I-ya, a-pa itu?" Asep terlonjak kaget dan menjadi gagap.
Benda putih melambai-lambai seperti naik turun dan menari-nari. Berkisar delapan meter dari arah kami. Asep gemetaran, Darman terlihat gugup dan wajahnya pucat. Aku juga merasakan detak jantung yang semakin cepat. Tubuhku tiba-tiba berkeringat dan membeku.
"Kita putar balik ajalah,jangan-jangan kunti, iii, ngeri!" usul Asep yang sudah melakukan gerakan jalan di tempat.
"Kita coba jalan dekati dulu, pamit izin numpang lewat mbah," ucapku mencoba berusaha tenang dan sedari tadi dalam hati merapalkan bacaan doa yang kuingat. Aku pernah mendengar ada yang ceramah jika pada bulan Ramadan setan itu dibelenggu. Masak iya sih ada kuntilanak berkeliaran, ya kan?
"Aku baca ayat kursi, yuk," Mulut Darman mulai membaca dengan cepat dan pelan seperti orang yang berbisik. Sambil mulut tak diam itu ia pun menyeret Asep sekuat tenaga, karena pemuda kurus itu masih dengan berat mengikuti. Aku mengambil senter ditanganya dengan menghentak dan berjalan duluan.
Jarak terkikis, senter tetap kuarahkan pada benda yang masih misterius itu. Semakin dekat, langkah kami semakin mengendap-endap seperti maling. Apalagi Asep sepertinya limbung dan celananya sudah basah. Karena tiba-tiba bau kencing menguar.
"Sep, kau tekencing?" aku memastikan dan menoleh padanya.
Cahaya yang temaram dan samar aku hanya bisa melihat sekilas ia mengangguk dan tak mampu bersuara. Saat cahaya senter sudah dekat barulah terlihat jelas tulisan besar pada karung goni bekas pupuk DOLOMIT M-100. Rupanya benda itu tersangkut di pelepah daun sawit yang posisinya pas menghadap jalan. Angin berembus membuat ia ke sana- ke mari. Â Aku menepuk jidat, hadeh, hehehe, boleh kalian para pembaca ketawa ya, atas kekonyolan kami ini. Dadah, selamat berpuasa!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H