"Kita coba jalan dekati dulu, pamit izin numpang lewat mbah," ucapku mencoba berusaha tenang dan sedari tadi dalam hati merapalkan bacaan doa yang kuingat. Aku pernah mendengar ada yang ceramah jika pada bulan Ramadan setan itu dibelenggu. Masak iya sih ada kuntilanak berkeliaran, ya kan?
"Aku baca ayat kursi, yuk," Mulut Darman mulai membaca dengan cepat dan pelan seperti orang yang berbisik. Sambil mulut tak diam itu ia pun menyeret Asep sekuat tenaga, karena pemuda kurus itu masih dengan berat mengikuti. Aku mengambil senter ditanganya dengan menghentak dan berjalan duluan.
Jarak terkikis, senter tetap kuarahkan pada benda yang masih misterius itu. Semakin dekat, langkah kami semakin mengendap-endap seperti maling. Apalagi Asep sepertinya limbung dan celananya sudah basah. Karena tiba-tiba bau kencing menguar.
"Sep, kau tekencing?" aku memastikan dan menoleh padanya.
Cahaya yang temaram dan samar aku hanya bisa melihat sekilas ia mengangguk dan tak mampu bersuara. Saat cahaya senter sudah dekat barulah terlihat jelas tulisan besar pada karung goni bekas pupuk DOLOMIT M-100. Rupanya benda itu tersangkut di pelepah daun sawit yang posisinya pas menghadap jalan. Angin berembus membuat ia ke sana- ke mari. Â Aku menepuk jidat, hadeh, hehehe, boleh kalian para pembaca ketawa ya, atas kekonyolan kami ini. Dadah, selamat berpuasa!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H