Rasa takut sudah mengelayuti hati, keringat dingin mulai membanjiri tubuh. Namun, aku mencoba menyusuri lorong panjang dengan penerangan beberapa obor yang berada pada dinding. Udara pengap dan  tercium aroma tak sedap. Hanya terdengar bunyi pantulan derap langkah kakiku. Â
Beberapa meter telah aku lalui dengan memasang sikap waspada, di depan terdapat kelokan ke kiri, tetapi belum sempat aku sampai. Suara riuh langkah yang ramai dan bayangan semakin jelas tercipta pada lantai. Tengkukku meremang. Tubuh ini berdiri kaku dan menunggu, mata terbeliak dan jantung berdegup cepat seakan ingin menembus keluar dari dada sebelah kiri, melihat Arkan serta wajah-wajah yang pernah kulihat pada foto yang ia berikan. Mereka berjumlah lebih dari sepuluh orang. Mereka berpakaian dan ikat kepala serba hitam. Anehnya, ekpresi mereka semuanya datar dengan pandangan lurus ke depan.
"Arkan," lirih aku memanggil, ia yang hanya berjarak satu langkah dariku pasti mendengar namanya disebut.
Ia menunduk. Aneh, kurasa ia tengah menyembunyikan seringaian ganjil di wajahnya, meski kemudian kusadari dia hanya tersenyum sendu.
"Kau memenuhi janjimu! You are my best friend!" ia merangkulku, tetapi ada yang berbeda. Aku merasakan aura lain, tetapi apa? aku pun tak tahu. Tiba-tiba instingku bekerja.
Pergerakan cepat aku lakukan merogoh pisau lipat dan segera menusuk tepat di perutnya. Aku dapat merasakan bagian ujung pisau itu menembus lapisan kulit perutnya dan menancap dengan sempurna. Kutarik  pisau itu dan kutusukkan sekali lagi. Ritmenya seperti ban mobil yang menginjak lubang, goyah sedikit. Bedanya, lubang itu adalah tubuhnya yang sedang tersentak.
Raga berwujud Arkan itu tiada mengeluarkan darah merah, tetapi terguncang karena terkikik-kikik parau. Wajah Arkan telah berubah wujud menjadi paras pria tua penuh keriput dan bertubuh gempal---Tuan Baskoro. Semua makhluk yang berada di belakangnya hilang tiba-tiba.
"Tak salah, kau bisa direkrut menjadi bala tentaraku pada istana gaib yang kubangun. Arkan benar, tentang kecerdasanmu." Mulut lelaki  itu pun berkomat kamit dengan bahasa yang tak kumengerti. Angin berembus dengan kencang.
Aku memutuskan berbalik arah dan berlari kembali menuju pintu. Aku sadar tak ada jalan keluar, tetapi setidaknya aku berusaha menghindar. Dari pada aku akan mati konyol dan menjadi arwah pengabdi.
Suara kekehan Tuan Baskoro seakan dekat di telingaku. Aku merasakan tenaga yang amat besar mendorong tubuhku hingga ambruk, mencium lantai yang dingin.
"Kau tak akan bisa lari!" teriak Tuan Baskoro di telingaku.