"Jika aku tak kembali dalam keadaan hidup, maka kau harus menyelesaikan kasus ini," ucap Arkan dengan mendongak dan mengembuskan asap rokoknya. Kepulan asapnya berbentuk lingkaran. Ia melempar pelan sebuah amplop besar berwarna cokelat ke meja, aku hanya diam, menunggu  perkataan selanjutnya dari sahabatku itu sembari membuka dan melihat berkas-berkas dan foto-foto yang diberikan. Ia seorang polisi yang terkabung di Badan Reserse dan Kriminal. Sedangkan aku hanya pengangguran yang hobinya membaca dan sesekali menjadi informan. Kemarin ia menjelaskan sedang melakukan penyamaran di suatu rumah yang mereka curigai telah melakukan pembunuhan. Kasusnya masih menjadi misteri karena belum cukup bukti serta tidak ada jasad mayat yang dapat ditemukan, hanya indikasinya beberapa korban yang dilaporkan hilang pernah bekerja pada Tuan Baskoro.
"Kau tahu, di manapun  pasti ada pengkhianat, aku curiga ada orang yang terlibat, kasus ini sulit untuk terbongkar. Ah, duit memang berkuasa," keluhnya lagi.
"Kenapa kau berucap demikian? Apa kau pesimis?" tanyaku dengan memandang lekat pada mata sayu Arkan. Ada kesedihan yang terpancar, ia memang sosok idealis. Figur yang bertugas rela mati-matian tanpa mengenal lelah dan waktu, berdedikasi tinggi dan mengayomi masyarakat dengan sepenuh hati. Aku jamin dia termasuk aparat yang langka untuk saat ini.
"Entahlah, aku merasa penyamaranku seakan sudah diketahui, intruksi dari atasan aku harus tetap pada posisi dulu, ada yang aneh, tetapi aku tak tahu apa itu?." Suara Arkan sedikit bergetar menandakan ia tertekan. Sebagai sahabatnya sedari kecil aku tahu ia sedang kesulitan dan ia tak bisa mengadu pada siapa pun.
Siapa sangka itu adalah pertemuan terakhirku dengannya, setelah itu ia dinyatakan sebagai orang hilang yang sedang dicari keberadaannya. Aku tahu ini pastinya berkaitan dengan kasus yang ia ceritakan tempo hari. Â Jangan tanya bagaimana rasa kehilanganku, dia sahabat satu-satunya dan sudah seperti saudara kandung. Apalagi melihat kedua orang tuanya yang begitu terpukul, ada perih terasa di hati ini. Sesuai amanahnya aku pun akan melakukan penyelidikan seorang diri. Mengikuti jejaknya, maka aku harus mendekati target.
***Â
Rasa ingin tahu yang besar membuatku mendekati bilik rahasia milik majikan yang berada di belakang. Memang seminggu yang lalu sebelum aku mulai bekerja, majikan yang super kaya ini mewanti-wanti agar kami semua mematuhi aturannya yaitu tidak boleh menganggu kamar berpintu warna hitam tersebut.
Aku merogoh saku, mengeluarkan kunci yang tadi sempat kuambil ketika membersihkan kamar Tuan Baskoro. Tubuhku sedikit bergetar karena gugup. Dalam hati berharap, semoga dari sekian banyak kunci yang ada pada lingkaran besi putih ini ada yang pas.
Setelah beberapa kali mencoba memasukkan anak kunci sembari kepalaku menoleh ke kiri dan kanan, takut ketahuan. Akhirnya, berhasil, aku mendorong pelan, dan masuk dengan cepat dan menutup kembali pintunya. Gelap, tanganku meraba-raba dan menekan sakelar yang tak jauh dari pintu. Mataku memindai sekeliling, hanya ruangan dengan lukisan dan sebuah lemari tua yang saling berhadapan. Dinding bercat kuning gading tanpa ada jendela maupun lubang angin. Jauh sekali dari apa yang dibayangkan, aku mengira akan melihat pemandangan seperti tempat ritual pesugihan seperti pada cerita-cerita yang pernah dibaca.
Aku yang sudah merasa terlanjur masuk, memutuskan mendekati lemari dengan warna yang pudar. Tidak ada yang aneh, hanya lemari dua pintu yang kosong, polos dan tanpa ada tingkat-tingkatnya. Tanpa menutupnya kembali aku berjalan ke arah lukisan seberang lemari tersebut. Lukisan harimau besar dengan matanya yang nyalang seakan hidup. Permukaan lukisan terlihat berdebu, kecuali bagian kepalanya. Tanganku mengelus bagian hidung yang permukaannya seperti menonjol dan tanpa sengaja aku menekannya. Bunyi derit benda berasal dari belakangku, refleks aku berbalik. Tiba-tiba lemari kayu itu bergetar, dinding  bergeser. Aku terpaku, mata tak berkedip, sebuah lorong terpampang. Ternyata lemari itu adalah sebuah pintu rahasia, tanpa ragu aku melangkah maju. Setelah beberapa langkah, derit benda bergeser kembali terdengar dari arah belakang, aku berbalik, pintu tertutup otomatis. Artinya aku terkurung, bagaimana nanti aku keluar? apa yang akan terjadi denganku? Begitu banyak pertanyaan dibenak ini.
Rasa takut sudah mengelayuti hati, keringat dingin mulai membanjiri tubuh. Namun, aku mencoba menyusuri lorong panjang dengan penerangan beberapa obor yang berada pada dinding. Udara pengap dan  tercium aroma tak sedap. Hanya terdengar bunyi pantulan derap langkah kakiku. Â
Beberapa meter telah aku lalui dengan memasang sikap waspada, di depan terdapat kelokan ke kiri, tetapi belum sempat aku sampai. Suara riuh langkah yang ramai dan bayangan semakin jelas tercipta pada lantai. Tengkukku meremang. Tubuh ini berdiri kaku dan menunggu, mata terbeliak dan jantung berdegup cepat seakan ingin menembus keluar dari dada sebelah kiri, melihat Arkan serta wajah-wajah yang pernah kulihat pada foto yang ia berikan. Mereka berjumlah lebih dari sepuluh orang. Mereka berpakaian dan ikat kepala serba hitam. Anehnya, ekpresi mereka semuanya datar dengan pandangan lurus ke depan.
"Arkan," lirih aku memanggil, ia yang hanya berjarak satu langkah dariku pasti mendengar namanya disebut.
Ia menunduk. Aneh, kurasa ia tengah menyembunyikan seringaian ganjil di wajahnya, meski kemudian kusadari dia hanya tersenyum sendu.
"Kau memenuhi janjimu! You are my best friend!" ia merangkulku, tetapi ada yang berbeda. Aku merasakan aura lain, tetapi apa? aku pun tak tahu. Tiba-tiba instingku bekerja.
Pergerakan cepat aku lakukan merogoh pisau lipat dan segera menusuk tepat di perutnya. Aku dapat merasakan bagian ujung pisau itu menembus lapisan kulit perutnya dan menancap dengan sempurna. Kutarik  pisau itu dan kutusukkan sekali lagi. Ritmenya seperti ban mobil yang menginjak lubang, goyah sedikit. Bedanya, lubang itu adalah tubuhnya yang sedang tersentak.
Raga berwujud Arkan itu tiada mengeluarkan darah merah, tetapi terguncang karena terkikik-kikik parau. Wajah Arkan telah berubah wujud menjadi paras pria tua penuh keriput dan bertubuh gempal---Tuan Baskoro. Semua makhluk yang berada di belakangnya hilang tiba-tiba.
"Tak salah, kau bisa direkrut menjadi bala tentaraku pada istana gaib yang kubangun. Arkan benar, tentang kecerdasanmu." Mulut lelaki  itu pun berkomat kamit dengan bahasa yang tak kumengerti. Angin berembus dengan kencang.
Aku memutuskan berbalik arah dan berlari kembali menuju pintu. Aku sadar tak ada jalan keluar, tetapi setidaknya aku berusaha menghindar. Dari pada aku akan mati konyol dan menjadi arwah pengabdi.
Suara kekehan Tuan Baskoro seakan dekat di telingaku. Aku merasakan tenaga yang amat besar mendorong tubuhku hingga ambruk, mencium lantai yang dingin.
"Kau tak akan bisa lari!" teriak Tuan Baskoro di telingaku.
Aku yang masih merasakan nyeri pada hidung, menoleh ke arah asal suara. Kepala Tuan Baskoro melayang-layang menyeringai tampak mengerikan. Dari lehernya terlihat tetesan darah yang mengalir, potongan kepala itu berputar-putar tepat di atas kepalaku. Secara perlahan aku membalikkan badanku. Tiba-tiba sekelebat bayangan cepat menimpaku, kali ini Arkan tepat duduk di atas perutku. Potongan kepala Tuan Baskoro melayang mendekati Arkan dan mengeluarkan suara.
"Bunuh dia!"
Mataku nanar memandang Arkan yang berada diatasku. Hatiku berharap ia ingat tentang persahabatan atau haruskah aku mengingat Tuhan dan berdoa ketika di ujung maut. Mata sahabat kecilku itu merah dengan wajah bengis, kedua tangannya mengengam leherku.
Aku terpejam, pasrah. Aku tahu yang dimaksudnya mereka barangkali tentang aliran sesat yang bersekutu dengan Iblis. Detik selanjutnya, aku tak dapat bergerak lagi, mungkin bersamaan dengan terdengarnya suara tulang leher yang patah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H