Mohon tunggu...
Megawati Sorek
Megawati Sorek Mohon Tunggu... Guru - Guru SDN 003 Sorek Satu Pangkalan Kuras Pelalawan Riau

Seorang guru yang ingin menjadi penulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Penjilat Sejati

2 Maret 2023   19:54 Diperbarui: 2 Maret 2023   20:01 175
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

  

   Pagi yang cerah, menambah semangat untuk pergi ke tempat kerja. Sesampai di kantor, masih sepi,hanya Mamang Dadang yang baru saja selesai melakukan pembersihan ruangan.

     Aku langsung menuju ke meja kerja. Sebelum aktivitas di mulai. Ke ruangan kecil di sudut kantor. Aku ingin menyeduh teh hangat menemani awal kerja.

     Ketika aku akan keluar. Diri ini kaget melihat si Bos melintas menuju ruangan kerjanya yang memang bersebelahan dengan ruangan dapur mini ini.

     "Selamat pagi, Bu," sapaku ramah.

     Ia hanya menggangukkan kepalanya. Sambil tangannya menarik knop pintu serta menghilang di balik pintu.

     Tumben datangnya lebih awal, hatiku membatin.terus, muka itu kenapa begitu tanpa senyuman. Ekpresi yang dipasangnya dingin.

     Ah, namanya wanita. Mudah labil memang. Sama la dengan diriku terkadang ya itu kadang-kadang. Moodnya cepat berubah. Mungkin si Bos lagi banyak masalah kali.  Bisa jadi lagi PMS jadi sensi gitu. Kepalaku menggeleng menepis berbagai pemikiran yang bermunculan.

     Kembali ke meja kerja mulai dengan aktivitas di depan layar yang terpampang di hadapanku. Seiring dengan teman kantor lainnya yang berangsur berdatangan.

     Beberapa menit lagi istirahat siang, aku bergegas mengemas meja. Mematikan laptop, dan akan makan siang ditempat langganan biasa, diseberang kantor.

     "Tar, disuruh Ibu Bos ke ruangannya tuh," ujar Sela yang baru saja keluar dari ruangan ujung terrsebut.

     "Ada apa ya?"

     "Ngak tau tuh ... buruan dah, ke sana gih." Jawabnya sambil mengangkat kedua bahunya.

     "Oh, oke deh." Ucapku sambil tersenyum manis memamerkan susunan gigi putihku, sambil berlalu.

     Aku mengetuk pintu, terdengar sahutan dari dalam.

     "Masuk!"

     Pintu bergeser, terlihat wanita yang menginjak usia hampir menuju empat puluhan itu, duduk di kursi putarnya sambil memainkan pena yang diketukkan ke meja.

     Senyumanku merekah, serta menundukkan sedikit badan berjalan menuju kursi yang berada di depan mejanya. Senyumku tak terbalas justru pandangan sinis serta mukanya keruh. Membuat hatiku tak nyaman, biasanya beliau pribadi yang ramah dan hangat. Namun kali ini berbeda yang menimbulkan tanya di benakku.

     "Duduk!" tawarnya dengan singkat. Setelah posisi kami dekat.

     Dengan berlahan aku mengambil posisi menghentakkan bokong pada kursi empuk tersebut. Mataku masih sungkan untuk beradu tatap pada mata yang seakan terpijar kebencian. Tapi justru pena yang diketuk-ketuk itulah pandanganku tertuju. Dan tiba-tiba berhenti seiring dengan ucapannya.

     "Kamu tahu kenapa dipanggil?" tanyanya sambil mencondongkan tubuhnya ke depan serta memandangiku dengan lekat.

     "Tidak tahu, Bu" jawabku sambil menggeleng kepala serta menantang matanya dengan pandangan sayu. Mana berani diri ini membalas dengan tatapan garang juga.

     Seingatku tidak ada melakukan kesalahan baik di bidang pekerjaan maupun kedisiplinan kerja. Datangku selalu tepat waktu. Selama  tiga bulan baru bekerja di sini tidak ada membuat masalah.

     "Saya peringatkan! Jika kamu masih ingin bekerja di sini kamu harus bisa menjaga sikap, mengerti!" ucapan penuh penekanan itu terceplos dari bibir pinknya.

     "Maksudnya, Bu? Saya merasa tidak ada melakukan kesalahan." tanyaku dengan memasang wajah binggung.

     Karena memang aku tak mengerti kemana arah pembicaraan wanita anggun dan kharismatik ini.

     "Baiklah! Jika kamu belum juga paham, akan saya paparkan kesalahan kamu. Kamu telah mengatakan hal yang negatif tentang saya dan itu sampai ke telinga saya, coba kamu ingat!"

     Aku terdiam dan mengenang kembali, apa ini berkaitan dengan obrolan dua hari yang lewat disaat kami lagi makan siang. Terbayang bagaimana  hebohnya pembicaraan kala itu.

     "Apa yang Ibu maksud obrolan makan siang kami yang dua hari yang lalukah?" tanyaku meyakinkan lagi.

     "Kira-kira begitulah. Dan bisa saja konsekuensinya kamu akan saya pecat. Mau?" ucapnya dengan gaya mengintimidasi.

     Sejenak  aku tercenung, pikiranku melayang ke ingatan pada empat wajah teman yang bersamaku saat itu. Dalam hati bertanya-tanya siapakah gerangan yang jadi pengadu . Apa si Sela teman dekatku yang selalu bersama pulang pergi kerja boncengan sepeda motor.  Si Mila yang cerewet namun baik hati. Si Ardi yang lebay melambai yang suka ngegosip.   Atau si Susan Ndut yang super heboh. Belum ketebak siapa, timbul rasa ingin tahu, dan mencoba untuk menanyakan langsung pada Bu Susi.

     "Baiklah Bu, boleh saya melakukan pembelaan, mana berani saya mengatai Ibu, fitnah itu Bu. Kalau boleh saya tau siapa yang memberitahu hal itu kepada Ibu?"

     "Kamu tidak perlu tahu siapa yang melapor ke saya," pungkasnya cepat.

     "Maksud saya, bisa dihadapkan ke saya Bu. Saya bersumpah tidak ada berbicara yang buruk tentang Ibu, saya hanya mendengarkan saja omongan mereka," ucapku meyakinkan.

     "Dia minta dirahasiakan."

     Akhirnya kalau begini, sepertinya jurus terakhirku harus keluar nih. Dengan tenang mengeluarkan gawai dari kantong baju kerja serta membuka aplikasi rekaman suara.

      "Mungkin Ibu perlu mendengar rekaman ini, bukti otentik sekaligus sebagai alibi saya. Mohon Ibu mengenali suaranya"

     ["Eh, kalian tau ngak Si Bos kita kemaren dilabrak lo, dituduh pelakor"] Suara Sela sedikit berbisik.

     ["Ah, serius lu?"] Suara Susan Ndut agak melengking karena terkejut.

     ["Dapat gosip dari mana lu"] suara Mila yang cempreng.

     ["Ada deh, sumber dapat dipercaya"] Suara Sela.

     ["Trus?"] Tanya Ardi.

     ["Ya berantem la, tapi ngak tau sekarang gimana kelanjutannya"] Suara Sela.

     Terdengar bunyi riuh hiruk-pikuk piring beradu.

     ["Di, ambilkan tisu tuh, cemong gue nih"] suaraku meminta tolong pada Ardi.

Terdengar kembali suara Sela memulai percakapan.

     ["Terang aja, ganjenkan kelamaan janda sih, ya ngak Tar?"] Tanyanya padaku, saat itu ku hanya tersenyum sambil mengacungkan jempol. Mana mau ku menanggapi, jelas ku lagi merekam. Lanjut makan soto dengan lahap.

     ["Si Bu Susi, mah kalau kita telat ditegur la dianya aja sering ngak ontime. Ngak adil jadi bos, ya kan?"] Suara Sela.

     ["Ho-oh, mentang-mentang jadi bos memang kadang seenaknya aja"] Suara Mila.

     ["Jangan-jangan kelamaan dandan tuh, kan ke kantornya tampilan kece badai banget kayak eike lo"] Suara Ardi

     Suara kekehan tertawa kami yang hampir bersamaan.

     ["Eh, udahan ntar kedengarannya karyawan lain, baru nyaho kita. Yuk buruan kita ke mushola"] ajakku. Sambil kami beranjak dari tempat makan tersebut.

     ["Lipstik kemarin jadi lu beli Mil? Berapa jadi har...] Rekaman terputus karena ku telah mematikan rekaman ponsel.

      Wajah Bu Bos Susi memerah, tanpa sadar menyebut nama Sela dengan lirih bercampur geram. Tangan sebelahnya mengepal menahan emosi.

     "Apa Sela yang bilang Bu?"

      Ia hanya mengangguk pelan. Tangannya memijit kepalanya.

     Sela, Sela teman kok gitu amat ya. Ternyata dialah si pengadu dan memfitnah. Ku sadari dia sering terlihat julid dengan kemampuan kinerja dan perhatian dari semua rekan maupun dari Bu Bos Susi kepadaku. Belum tahu dia, akulah penjilat sejati. Sebenarnya rekaman itu nantinya akan kutunjukkan juga kepada atasan kami itu. Agar Sela bisa angkat kaki dari kantor ini. Dan aku tidak ada saingan lagi. Namun ternyata keduluan. Cuma cara mainnya  Sela masih manual, hadeh ... kini udah ngak zaman main lapor gitu aja. Harus ada bukti digital yang menguatkan seperti caraku ini.

     Senyum seringaiku mengembang, membuang muka serta tatapan sinis ke luar jendela penuh arti. Tinggal menunggu dan menonton peristiwa apa yang terjadi selanjutnya.

"Saya kira, Ibu bisa bijaksana mengambil keputusan. Boleh saya pamit" Ucapanku membuyarkan lamunan beliau.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun