Mohon tunggu...
Megawati Sorek
Megawati Sorek Mohon Tunggu... Guru - Guru SDN 003 Sorek Satu Pangkalan Kuras Pelalawan Riau

Seorang guru yang ingin menjadi penulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Siswa Broken Home

13 Februari 2023   20:55 Diperbarui: 13 Februari 2023   20:57 230
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Aku mengeliat, meluruskan tubuh dan tangan. Lama-lama duduk membuat otot berasa tegang.  Sembari melirik jam bulat di dinding yang telah menunjukkan pukul 23.30. Pantas saja menguap dan mata  mengantuk. Setelah beberapa jam menyiapkan segala perlengkapan untuk pembelajaran besok.

 Aku bangkit dari kursi menuju ranjang. Berbaring menatap langit-langit kamar dengan lampu 30 watt mengantung di sana.  Besok akan masuk ke materi  pembelajaran baru. Setelah kemarin ada tugas rumah yang mungkin telah diselesaikan oleh siswa-siswi kelas empat.  Ingat PR, pikiranku menjadi teringat pada Ryan. Apakah ia akan mengerjakannya, timbul tanya di hati ini. Dahulu saja dia bilang lupa mengerjakan.

Ryan adalah murid baru, pindahan dari kota lain. Ketika hari pertama masuk diantar oleh nenek, ibu--dari pihak ayahnya. Selama seminggu berlangsung di kelas  ia tampak tidak bersemangat dan murung. Mungkin masih terpengaruh adaptasi atau ada masalah keluarga yang ia hadapi, dengar selayang kabar orang tuanya sedang berebut hak asuh.  Oleh karena itu, aku akan berencana melakukan pendekatan yang lebih intens.

Bagaimanapun nasibnya tak jauh berbeda denganku. Ingatanku melayang ke masa lalu. Bedanya guruku saat itu tidak mau tahu akan masalah yang menimpa muridnya dan itu menurutku salah. Aku tak ingin seperti itu.

"Semalam yang bantu kerjakan PR siapa?" tanya Bu Ita dengan sorot tajam menatapku.

Aku menunduk.

"Fika?" Kembali Bu Ita menyebut namaku.

Aku tak menjawab, justru mengangkat kepala, menggigit bibir. Sejurus kemudian menoleh ke kiri dan kanan bahkan sesekali menoleh ke belakang seperti linglung. Saat itu yang kuingat lekat di benak  adalah pertengkaran hebat antara bapak dan ibu. Bagaimana  aku bisa minta tolong untuk dibantu mengerjakan tugas sekolah. Berangkatnya aku sekolah saja sebagai pelarian dengan perasaan kalut dan menghindari dari suara teriakan, makian maupun benda-benda yang dihempaskan oleh mereka. Ternyata di sekolah pun aku bernasib sial, tugas tak selesai, dan dilanjutkan dengan hukuman berdiri di depan kelas hingga pelajaran usai.

Perutku meronta minta di isi. Bibirku mencebik seiring mata yang menghangat lalu tetes demi tetes air mata keluar menghalangi pandangan. Saat itu tekanan batin begitu berat mebghimpitku yang baru berusia sepuluh tahun. Sampai akhirnya aku pingsan di depan kelas.

Tidak ada penyelesaian, hidupku terus berlanjut ikut dengan nenek yang sudah renta. Hanya dua tahun. Ketika akan memasuki Sekolah Menengah Pertama hidupku kembali terluntang lantung, berpindah rumah dari rumah satu lagi. Paman, bibi, sepupu bapak atau ibu. Sementara orang tuaku sudah sibuk dengan keluarga baru mereka masing-masing. Hidup di antara mereka memang sering tak dianggap.

Aku berjuang keras dan bercampur dengan rasa tahu diri tak lupa bertahan akhirnya mampu dijalani. Sampai menjadi guru honorer saat ini.

***

Pengalaman hidup itulah yang membuatku menjadi lebih peka terhadap masalah yang menimpa para siswaku. Aku lebih dekat dengan mereka kadang bersikap seperti teman, sahabat maupun seorang kakak.

Pagi ini, karena bertepatan dengan jadwal piket maka kuputuskan untuk datang jauh lebih awal. Sebelum masuk ke gerbang sekolah aku dikejutkan dengan pemandangan di tepi jalan. Terlihat Ryan sedang ditarik oleh kedua orang tuanya. Seorang pria menarik tangan kiri, sedangkan sosok perempuan modis menarik tangan kanan anak itu. Terjadilah saling tarik.

Semua mata para warga sekolah yang berdatangan tertuju pada peristiwa tersebut, tetapi banyak yang memilih tidak ingin ikut campur.

Teriakan, serta saling memaki mengiringi peristiwa perebutan anak itu.

"Stop!" Aku tergesa menghampiri dan membentang tangan tepat berada di sisi Ryan. Mataku menatap tajam menoleh ke arah kedua orang tua Ryan bergantian.

"Tolong selesaikan urusan kalian jangan di sini. Ini sekolah tempat anak mengenyam pendidikan. Ryan saya bawa ke kelas. " Selesai berucap aku melepaskan genggaman mereka dari tangan Ryan.

"Kalian juga tidak malukah, menjadi tontonan orang-orang!" sambungku lagi dengan geram.

Seakan tersadar mata kedua orang tua Ryan mengedarkan pandangan ke sekeliling dan tanpa menyahut omonganku mereka berbalik badan menuju mobilnya masing-masing.

Ryan terlihat pucat, mulutnya terkatup dengan langkah pelan aku membawanya ke ruangan majelis guru. Mendudukkannya di kursi tamu dan menyerahkan segelas air mineral segelas.

"Ryan, baik-baik sajakan?" tanyaku dengan suara lembut. Setelah ia meminum air hingga kandas.

"Ya, Bu," jawabnya pelan dengan masih menunduk. Aku tahu di hatinya pasti terkejut dan gamang.

"Bu-" Ia berkata dengan wajah ragu antara terus melanjutkan atau mengantung ucapan. Aku menunggu dengan memegang bahunya pelan.

"Kenapa mereka bercerai?" tanyanya dengan  mata yang sudah berkaca-kaca.

Aku menunduk sebentar. Jika ditanya mengapa atau alasan mereka berpisah aku tentunya tidak tahu detailnya.

"Mungkin, prinsip yang sudah berbeda?" jawabku menebak.

"Prinsip? Prinsip itu apa?" Wajah lugu nan polos itu menaikkan alis tak mengerti.

Belum sempat aku menjawab dan masih memikirkan kata-kata yang tepat untuk menjawab. Ryan kembali berkata,

"Bagaimana jika Ryan kangen Mama atau Papa?"

Aku tersenyum samar.  Perasaan sama yang pernah aku alami. Sakitnya menyiksa, tetapi mereka tak peduli. Akhirnya terbiasa dan berdamai dengan takdir.

"Jika harus memilih, Ryan mau ikut siapa, Mama atau papa Ryan?" Aku justru balik bertanya ingin tahu lebih condong kemana hatinya.

"Ryan tak tahu, Bu. Ryan sayang keduanya dan ingin seperti dulu lagi."

Aku menghela napas berat. Sangat sadar dan mafhum dengan kondisinya. Bagaimanapun hidup adalah pilihan, memang sulit dan sayangnya Ryan diusiannya yang masih kecil sudah terpaksa menghadapi situasi demikan. Berbeda denganku yang  dulu justru tak punya pilihan. Namun, intinya sama saja, perceraian tetap meninggalkan luka dalam.

Tugasku mendampingi Ryan dengan memberikan perhatian serta nasihat secara pelan-pelan. Menjadi pendengar bagi Ryan untuk berceloteh dengan bebas. Memberikan motivasi agar ia bisa bertanggung jawab  dan mandiri. Tentunya afirmasi positif agar  ia bisa menerima apapun nantinya hasil keputusan sidang perceraian kedua orang tuanya.

Sedikit demi sedikit keceriaan Ryan sudah kembali, ia mulai bergabung dengan temannya bermain serta belajar. Seperti kali ini suasana kelas riuh dengan tugas kelompok menyampaikan hasil wawancara dengan proses pembelajaran bermakna dan berpusat pada siswa. Wawancara bebas dengan pilihan masing-masing kelompok kepada warga sekolah, sesama teman, guru, Tata Usaha, penjaga maupun pedagang kantin sekolah atau satpam. Pilihan-pilihan tersebut disajikan agar siswa belajar untuk berlatih memilih dengan pertimbangan pemikirannya. Berkaitan dengan cara dan hal-hal terkait wawancara sudah dijelaskan terlebih dahulu. Pertanyaannya pun bebas asal terkait dengan profesi narasumber yang mereka tanyai.

Satu hal yang mengejutkanku. Si Ryan justru memilih guru dan itu aku. Ia penasaran dengan latar belakang kehidupanku. Masa lalu sewaktu anak-anak dan tentang kedua orang tuaku yang pernah tercetus sekilas padanya kunyatakan  juga berpisah. Bagaimana seseorang bertahan dari kondisi broken home.

Terkadang masalah yang dihadapi oleh kita yang masih seorang anak-anak menuntut kita untuk mengerti keadaan. Keegoisan orang tualah yang membentuknya, seakan anak kecil disuruh dewasa sebelum waktunya. Begitulah Ryan, siswaku.

~

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun