Mohon tunggu...
Megawati Sorek
Megawati Sorek Mohon Tunggu... Guru - Guru SDN 003 Sorek Satu Pangkalan Kuras Pelalawan Riau

Seorang guru yang ingin menjadi penulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Hinaan Menjadi Motivasi

5 Februari 2023   20:32 Diperbarui: 5 Februari 2023   20:40 300
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Aku lagi rebahan sembari berselancar ke media sosial. Memang, bisa sampai lupa waktu. Seakan hanyut terlena melihat berbagai konten. Kadang ada yang lucu membuatku terpingkal-pingkal, pastinya juga tak lupa melihat berita kekinian yang lagi viral. Keseruan para artis, ataupun netizen yang nyinyir saling adu argumen.

Tak lama berselang terdengar derit pintu berbunyi. Pintu rumah kami memang sudah mulai lapuk. Engsel karatan serta pintunya sudah merosot ke bawah. Gesekan itu pun membuat berat ketika dibuka dan tutup. Rumah berukuran enam kali sembilan meter tanpa halaman belakang inilah peninggalan dari mendiang bapak. Hanya memiliki satu kamar dengan perabotan rumah yang seadanya. Padahal katanya kakekku orang kaya, masak sih, bapakku tidak kecipratan, entahlah. Aku masih kecil ketika itu dan belum paham mengenai cerita detailnya.

Itu pasti Mak yang pulang dari bekerja. Aku berhenti bermain Handphone. Mak memang berangkat pagi dan pulang ketika selesai azan Asar. Ia bekerja berkeliling di beberapa rumah tetangga. Mengambil upah mencuci dan setrika ke rumah-rumah. Mak pun masuk ke kamar dan memperhatikanku dengan menghela napas. Ia memegang belakang pinggang. Mungkin lelah kelamaan duduk.

Mak duduk di sisi ranjang, merogoh saku dan mengeluarkan ponsel kecil jadul miliknya ia letakkan di atas ranjang.

"Tadi, Pak Lek Tiok dan Bu Lek Marnimu nelpon, trus, katanya bulan depan tanggal lima belas si Diah mau nikah, jadi kita tiga hari sebelum hari-H suruh ke sana," ucapnya memberitahu.

Mak menyeka peluh di pelipis yang mulai dipenuhi kerutan. Wajah itu terlihat lebih tua dari pada usianya. Bahkan dibanding Bu Lek Marni---kakak iparnya pasti ia kelihatan lebih tua. Tentunya jelas berbeda antara yang perawatan dan yang tidak.

"Tumben." Aku menanggapi dengan kembali fokus ke layar ponsel yang tadi menggelap. "Dapat orang mana, Mak?" tanyaku penasaran.

Diah adalah sepupuku dari sebelah bapak. Anak dari Abang bapak yang sulung. Bapak memiliki dua saudara yang semuanya laki-laki. Bapakku yang bungsu. Kedua abang bapak memang hidupnya lebih mapan dan tinggal di kota.  

"Seorang pengusaha katanya, orang berada juga," jawab Mak dengan mata menerawang, entah apa yang beliau khayalkan.

"Udah butuh baru ingat ngabarin," ujarku ketus dengan memajukan bibir.

"Hush, maksudnya?" Kening Mak mengeryit.

"Selama ini tak ada ngubungin, dah perlu baru nelpon, palingan kita disuruh bagian dapur nyuci piring dan bersih-bersih aja, butuh tenaga kita. Kita jarang dipandang, nasib orang susah, Mak" keluhku. 

"Andai kita kaya banyak duit ya, pasti banyak yang ngedekatin dan ngaku saudara. Ini semenjak bapak nggak ada, sepuluh tahun udahan, apa ada mereka bantu kita? Nggak kan, mana ada yang peduli sama kita. Kalau keluarga mak mah memang susah semua juga," sambungku lagi.

Mendengar omonganku wajah Mak berubah menjadi kelam. Sorot matanya menjadi sedih, pastinya beliau membenarkan apa yang kuucapkan, kenyataannya begitu!

"Makanya kamu nyari kerja jangan di rumah aja." Kalimat yang sudah sering perempuan berusia lima puluh itu ucapkan. Aku bosan mendengarnya, maka jawabannya pun selalu sama.

"Tamat SMA apalah dapat kerjanya Mak, palingan bisa jaga kedai, toko, ponsel, males aku ah, malu sama teman, gengsi," kilahku.

 Mak Memegang kedua pipiku, terasa kasar telapak tangannya. "Udah, Mak mau ke belakang dulu." Pamitnya sembari menyambar ponselnya dan keluar kamar.

Aku lanjut main ponselku yang layarnya sudah pecah sebagian dan membuat aku sedikit kesulitan melihat layar.

"Dina!" terdengar teriakan Mak dari arah dapur.

"Ya, Mak!" sahutku dengan suara tak kalah keras.

"Itu cucian piring sama bekas masak mie kamu berantakan di dapur, kemas!" Kepala mak menyembul di balik pintu kamar. Ia menatapku dengan sorot mata tajam.

Aku bangkit dengan langkah gontai menyusulnya ke dapur. Masih dengan mengenggam ponsel tentunya.

***

Persiapan telah aku lakukan sebelum kami ke kabupaten. Duit gaji mak kuminta untuk beli baju  secara online. Aku tak mau tampil terlalu kelihatan ndeso. Tak lupa membeli paket internet agar memudahkan untuk memposting dan sebagai pengalih perhatianku jika bengong nantinya. Aku sadar kehadiranku biasanya tidak begitu dihiraukan oleh sepupu. Hanya sapa sekedarnya, mungkin kedekatan tak terbentuk dikarenakan kami berjauhan. Padahal aku selalu melihat media sosial mereka juga.

Tidak cukup dana, Mak pun akhirnya meminjam uang kepada majikannya untuk ongkos dan uang pegangan kami selama di sana nantinya.

"Wah, pesta yang meriah nanti, nih, aku juga besok maunya kek gini juga, Mak," bisikku ketika turun dari mobil angkutan. Mataku takjub melihat tenda besar yang mulai dipasang di halaman rumah Pak Lek Tiok.

Mak tidak menanggapi ucapaku, ia hanya tersenyum hambar.

Suasana rumah  Diah sudah ramai dengan segala kesibukan. Kami disambut dan beramah tamah sekedarnya lanjut dengan cicilan kerja yang sangat banyak. Mak mulai berbaur dengan lainnya dan sibuk. Aku ke ruang kamar pengantin dan melihat-lihat orang mendekorasi. Sesekali ada yang menyuruh membeli atau minta ambilkan sesuatu.

Orang lalu lalang, panitia sibuk, saat resepsi para tamu undangan sangat ramai. Mataku lirik sana-sini mana tahu dapat kenalan cowok kota. Nyatanya sepertinya aku tak terlihat, hanya gadis kucel dan biasa saja. Memiliki rupa yang pasaran. Hidung minimalis, kulit gelap, bibir tebal serta wajah yang kusam. Hanya Mak yang dulunya sering memanggilku "Cah Ayu". Kata Mak, mataku bulat bersinar, dengan bulu mata lentik menaungi beningnya mata.

Selain miskin, rupaku juga tak menarik. Sepertinya nasibku tak beruntung. Harapanku mendambakan memiliki pasangan yang kaya untuk merubah nasib. Jika dipikir-pikir mana ada yang mau. Andai ada disalah satunya, jadilah. Rupa tak mendukung, ada harta, seperti si Diah. Wajah dia kan pas-pasan juga sebenarnya. Uanglah yang membuat ia lebih modis dan cantik.

Atau semisalnya harta tak punya, setidaknya berilah pada wajah ini kecantikan. Seperti kisah Cinderella mendapatkan pangeran. Ah, rasa rendah diri mengelayuti diri, mungkin inilah juga yang membatasi pergaulanku. Lebih suka menghabiskan waktu scroll medsos.

Kami berkemas dan sebentar lagi akan berpamitan pulang. Semua tas aku yang menjinjing. Kasihan melihat Mak wajahnya murung, mungkin kelelahan. Sudah seminggu kami di sini. Berberes dan berbenah sisa pesta sudah pun dilakoni.

Di ruang tamu yang luas sudah berkumpul kedua keluarga Pak lekku. Pak Lek Tiok duduk berdampingan dengan Bu Lek Marni. Sedangkan di seberang meja duduk Pak Lek Yanto dan istrinya, Bu Lek Wulan.  Sedangkan kursi yang menghadap ke pintu luar duduklah Diah dan suaminya. Sementara sepupu yang lainnya mungkin masih sibuk di kamar atau di dapur.

"Jadi, Dina tidak ada rencana kuliah, sayang lo masa mudanya terlewat sia-sia." Suami Diah bersuara ketika kami telah beranjak beberapa langkah. Aku dan Mak berhenti sengaja untuk mencuri dengar atas ghibah-an mereka.

"Sebenarnya kuliah atau tidak, sukses itu bisa diraih jika ia memiliki mental untuk sukses, bukan rebahan mulu." Suara Diah terdengar menyahut.  

"Ini apa kerja? Setiap hari mainin hape, nggak tahu dunia lain, seharusnya dia itu bersiap untuk masa depan, bukannya ngabisin waktu nggak jelas." Lek Marni menimpali.

"Salah asuhan, bapaknya kan gitu wataknya, harta warisan abis main judi dan tak tentu arah. Pemalas nomor satu, tambah lagi mak si Dina tu tak mau mengajar anak."

Aku mengigit bibir bawah, tanganku mengepal. Aku lirik Mak malah menundukkan kepala. Aku merasa dihina. Aku berbalik badan dengan emosi yang memuncak. Mak menarik tanganku membawa pergi.

"Perkataan mereka,ada benarnya, Nak." Mak berucap sembari mengelap air mata di sudut matanya.

Sepanjang perjalanan aku berpikir. Kehinaan hidup yang susah ini seharusnya aku akhiri. Mulai dengan merubah diriku sendiri. Aku harus menggali potensi diri atau ah, apalah namanya nanti aku scroll, nyari ilmunya. Saatnya mulai untuk pembuktian, hinaan bukan dibalas dengan cara yang sama, tetapi harus lebih yang elegan. Begitu 'kan? Atau itu bukan hinaan, tetapi nasihat dalam teguran kasar.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun