Aku lagi rebahan sembari berselancar ke media sosial. Memang, bisa sampai lupa waktu. Seakan hanyut terlena melihat berbagai konten. Kadang ada yang lucu membuatku terpingkal-pingkal, pastinya juga tak lupa melihat berita kekinian yang lagi viral. Keseruan para artis, ataupun netizen yang nyinyir saling adu argumen.
Tak lama berselang terdengar derit pintu berbunyi. Pintu rumah kami memang sudah mulai lapuk. Engsel karatan serta pintunya sudah merosot ke bawah. Gesekan itu pun membuat berat ketika dibuka dan tutup. Rumah berukuran enam kali sembilan meter tanpa halaman belakang inilah peninggalan dari mendiang bapak. Hanya memiliki satu kamar dengan perabotan rumah yang seadanya. Padahal katanya kakekku orang kaya, masak sih, bapakku tidak kecipratan, entahlah. Aku masih kecil ketika itu dan belum paham mengenai cerita detailnya.
Itu pasti Mak yang pulang dari bekerja. Aku berhenti bermain Handphone. Mak memang berangkat pagi dan pulang ketika selesai azan Asar. Ia bekerja berkeliling di beberapa rumah tetangga. Mengambil upah mencuci dan setrika ke rumah-rumah. Mak pun masuk ke kamar dan memperhatikanku dengan menghela napas. Ia memegang belakang pinggang. Mungkin lelah kelamaan duduk.
Mak duduk di sisi ranjang, merogoh saku dan mengeluarkan ponsel kecil jadul miliknya ia letakkan di atas ranjang.
"Tadi, Pak Lek Tiok dan Bu Lek Marnimu nelpon, trus, katanya bulan depan tanggal lima belas si Diah mau nikah, jadi kita tiga hari sebelum hari-H suruh ke sana," ucapnya memberitahu.
Mak menyeka peluh di pelipis yang mulai dipenuhi kerutan. Wajah itu terlihat lebih tua dari pada usianya. Bahkan dibanding Bu Lek Marni---kakak iparnya pasti ia kelihatan lebih tua. Tentunya jelas berbeda antara yang perawatan dan yang tidak.
"Tumben." Aku menanggapi dengan kembali fokus ke layar ponsel yang tadi menggelap. "Dapat orang mana, Mak?" tanyaku penasaran.
Diah adalah sepupuku dari sebelah bapak. Anak dari Abang bapak yang sulung. Bapak memiliki dua saudara yang semuanya laki-laki. Bapakku yang bungsu. Kedua abang bapak memang hidupnya lebih mapan dan tinggal di kota. Â
"Seorang pengusaha katanya, orang berada juga," jawab Mak dengan mata menerawang, entah apa yang beliau khayalkan.
"Udah butuh baru ingat ngabarin," ujarku ketus dengan memajukan bibir.
"Hush, maksudnya?" Kening Mak mengeryit.