"Jadi, Dina tidak ada rencana kuliah, sayang lo masa mudanya terlewat sia-sia." Suami Diah bersuara ketika kami telah beranjak beberapa langkah. Aku dan Mak berhenti sengaja untuk mencuri dengar atas ghibah-an mereka.
"Sebenarnya kuliah atau tidak, sukses itu bisa diraih jika ia memiliki mental untuk sukses, bukan rebahan mulu." Suara Diah terdengar menyahut. Â
"Ini apa kerja? Setiap hari mainin hape, nggak tahu dunia lain, seharusnya dia itu bersiap untuk masa depan, bukannya ngabisin waktu nggak jelas." Lek Marni menimpali.
"Salah asuhan, bapaknya kan gitu wataknya, harta warisan abis main judi dan tak tentu arah. Pemalas nomor satu, tambah lagi mak si Dina tu tak mau mengajar anak."
Aku mengigit bibir bawah, tanganku mengepal. Aku lirik Mak malah menundukkan kepala. Aku merasa dihina. Aku berbalik badan dengan emosi yang memuncak. Mak menarik tanganku membawa pergi.
"Perkataan mereka,ada benarnya, Nak." Mak berucap sembari mengelap air mata di sudut matanya.
Sepanjang perjalanan aku berpikir. Kehinaan hidup yang susah ini seharusnya aku akhiri. Mulai dengan merubah diriku sendiri. Aku harus menggali potensi diri atau ah, apalah namanya nanti aku scroll, nyari ilmunya. Saatnya mulai untuk pembuktian, hinaan bukan dibalas dengan cara yang sama, tetapi harus lebih yang elegan. Begitu 'kan? Atau itu bukan hinaan, tetapi nasihat dalam teguran kasar.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H