Mohon tunggu...
Megawati Sorek
Megawati Sorek Mohon Tunggu... Guru - Guru SDN 003 Sorek Satu Pangkalan Kuras Pelalawan Riau

Seorang guru yang ingin menjadi penulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Leluhur

13 Januari 2023   20:10 Diperbarui: 13 Januari 2023   20:12 193
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Gadis berlesung pipi dan berkulit putih itu berjalan  mengendap-endap  mengikuti lelaki tua di hadapannya. Mereka mengintip  di balik pohon besar. Sebelumnya  lelaki yang bersama Tyas tersebut  mengusap kedua mata Tyas. Wajah Tyas tercengang melihat pemandangan di hadapannya.

"Apa yang kau lihat?" tanya Abah Sugimin. Tangan lelaki itu mencoba menyibak kembali semak belukar yang sedikit menutupi pandangan Tyas.

"Sebuah istana yang sangat megah, bercat warna emas yang berkilau serta taman yang penuh bunga mengelilinginya. Sangat indah!" Mata Tyas berbinar memandang dengan takjub.

"Ananda Tyas perhatikan sekali lagi, itu semu.  Jangan tertipu!" seru Abah Sugimin dengan kalimat penekanan.

Tyas  heran dengan pernyataan Abah  Sugimin, gadis itu mengerjabkan matanya berulang kali. Ekspresinya sontak  terkejut. Kedua matanya terbeliak, mulutnya tergangga. Cepat ia menutup mulutnya dengan  sebelah tangan. Tubuhnya menjadi bergetar.  Bagaimana tidak? Apa  yang terlihat di depannya amat sangat mengerikan.

Tumpukan tulang belulang tengkorak yang berserakan.  Makhluk dengan bentuk dan tampang menyeramkan berlalu lalang. Bangunan tua yang sangat besar dengan tiang penyangga dari susunan kepala. Pada salah satu kepala itu ada yang sangat di kenali olehnya.  Sosok kepala Sopian---abang iparnya yang baru saja meninggal seminggu yang lalu. Kematiannya sungguh misterius. Tepat di malam Jumat serta bulan purnama. Ia ditemukan tergeletak  tak bernyawa dengan mata melotot dan ekspresi ketakutan.

"Abah, bukankah itu---" Tyas mencoba memperjelas hal yang ia lihat.

"Ya, Sopian, dia telah menjadi tumbal pesugihan oleh---"

Belum selesai Abah Sugimin berucap, tiba-tiba embusan angin kencang menerpa dan membuat rambut mereka berkibar-kibar.

"Awas, mereka menyadari kehadiran kita!" Teriakan Abah Sugimin terdengar samar di telingga gadis karena desau angin yang menderu.

Abah Sugimin dengan cepat meraih pergelangan tangan Tyas. Membawanya berlari kencang. Sekuat tenaga Tyas mengumpulkan kekuatan untuk mengikuti langkah Abah  Sugimin yang berlari. Bagaimana pun ini adalah pengalaman pertamanya melihat dunia lain. Keterkejutan dan ketakutan membuatnya tidak fokus.  Kaki-kaki Tyas saling beradu satu sama lain, hingga tubuhnya limbung tak terkendali. Gadis itu pun tersungkur mencium tanah yang lembap.

Tyas pun merasakan pergelangan kakinya seperti ada yang menarik. Ada kekuatan yang menyeretnya menuju pohon besar yang ia intip bersama Abah Sugimin tadi. Sosok  Abah Sugimin pun sudah tak terlihat dari pandangannya. Ia sadar betul beberapa detik lalu tangannya masih ditarik oleh Abah Sugimin. Lelaki tua yang ia jumpai dan baru dikenal ketika ia berolah raga pagi tadi itu telah lenyap seketika.

***

Mata Tyas melihat sekeliling dengan nyalang.  Suatu tempat yang ia tak tahu keberadaannya. Ruangan petak dengan ukuran sekitar empat kali empat meter. Begitu suram, ditumbuhi  lumut dimana-mana. Aroma kapur barus mengguar begitu tajam. Beberapa kali gadis yang baru sebulan di desa tersebut mendengkus kasar membuang napas.  Cahaya temaram hanya dari sebuah lilin yang tinggal separuh. Tyas terduduk di sebuah kursi dengan tangan terikat di belakang.

Gadis  berambut sebahu itu berusaha mengumpulkan kesadaran. Ia berusaha mengingat kejadian sebelum berada di tempat itu. Saat ia sedang meringis dan mengeleng-geleng kepala karena rasa pusing masih terasa. Gagang pintu terlihat bergerak dan berbunyi.  Kedua netra Tyas difokuskannya  ke arah sumber suara.

Terlihat sepasang  manusia mengenakan pakaian hitam serta topeng kain yang juga berwarna senada. Melangkah menuju ke tempat Tyas berada. Tyas begitu gugup, jantungnya berdetak kencang. Dalam hatinya bertanya-tanya siapakah gerangan orang yang berada di balik kain hitam menutup wajah itu.

"Kau terlalu banyak tahu, dan harus kami binasakan." Suara bariton dari salah seorang mereka.

Sedetik kemudian selesai  berbicara, orang berdua itu melepaskan topengnya.

"Pak Wagiman dan Ibuk, " lirih dan bergetar suara Tyas berucap.

"Ya, kami putuskan tidak jadi menjadikanmu menantu, kamu tahu sebelum kami jadikan tumbal!" seru wanita setengah baya yang berada di samping  Tyas.

"Ma---maksud Ibu dan Bapak?"

"Kami bersekutu dengan Iblis dan nanti  akan menjadikanmu sebagai tumbal."

Tyas terdiam,  hingga tangan wanita itu mendongakkan dagunya. Pisau yang dingin membelai  pipi gadis itu. Tubuh Tyas sudah berkeringat dan mengigil ketakutan. Wajahnya menjadi pucat seperti tak berdarah.

"Jangan menunggu lama, cepat selesaikan. Ritual kita belum rampung," ucap calon mertua laki-laki Tyas.

 

Gerakan tangan  calon ibu mertua Tyas sudah melayang akan menikam bagian perut. Tiba-tiba serangan angin sangat kencang, membuat  ketiga orang itu terpelanting. Tyas bahkan terpental jauh dengan kursi yang ia duduki.

Abah Sugimin datang tepat waktu.  Tubuh berlumuran darah itu berjalan tertatih.  Terlihat gurat kelelahan pada wajah yang banyak kerutan keriput itu. Ia baru saja melawan banyak serangan gaib dari penghuni pohon tua. Untung saja ia masih sempat datang ke bagian belakang rumah  manusia yang telah membuat perjanjian dengan makhluk tak kasat mata itu.

"Kau, jangan ikut campur!" teriak Pak Wagiman dengan matanya yang memelotot.

Abah Sugimin tidak mengubrisnya. Lelaki itu bersiap dengan serangan.  Mulutnya berkomat-kamit membaca  ayat-ayat suci. Dari kedua telapak tanganya  keluar sinar putih dengan cahaya yang sangat menyilaukan. Kekuatan itu mengenai tubuh Pak Wagiman hingga ia rubuh dengan tubuh berubah hangus menghitam.

Istrinya yang melihat kejadian itu berteriak histeris. Berlari menuju Abah Sugimin dengan menghunuskan pisau. Abah Sugimin  bergeming.  Namun, ketika pisau itu hanya tinggal beberapa centi darinya. Tubuh pria berpeci putih itu melayang ke udara. Sehingga, pisau itu hanya mengenai udara kosong.

Cepat, Abah Sugimin menyerang dengan sinar  panas  punggung wanita yang berusaha membunuhnya.  Nasib wanita itu pun sama seperti suaminya, gosong.

Tyas ternyata pingsan, akibat terbawa angin tadi. Ia tak menyaksikan  pertempuran Abah Sugimin dengan kedua calon mertuanya.

"Tyas, aku adalah leluhurmu. Setelah kejadian ini, tinggalkanlah desa ini, kembalilah ke kota. Carilah jodohmu yang sebenarnya."

Suara itu terdengar  di dalam alam bawah sadar Tyas yang masih belum  sadarkan diri

~

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun