Di Indonesia memandang keperawanan sebagai kesucian diri perempuan bahkan menjadikan keperawanan sebagai bentuk kehormatan diri seorang perempuan. Masyarakat Indonesia kerap kali mengukur moralitas seorang perempuan melalui selaput daranya. Pada dasarnya, keperawanan itu hanya sebuah selaput dara yang merupakan organ tubuh pada perempuan. Namun, organ tubuh itu justru diartikan sebagai organ moral pada diri perempuan. Pengukuran kesucian, moral dan harga diri perempuan hanya diukur melalui tubuhnya.
Isu-isu yang berkembang tentang keperawanan hanya sebuah mitos yang kemudian dibangun dan dikonstruksikan oleh budaya patriarki membuat para perempuan harus menjaga keperawanannya. Bagi masyarakat Indonesia, Perempuan yang mejaga keperawanannya sampai jenjang pernikahan akan mendapatkan predikat “perempuan yang baik” sedangkan perempuan yang sudah melepaskan keperawanannya sebelum menikah ia akan mendapatkan stigma negatif dari masyarakat bahwa ia akan dikenal menjadi perempuan tidak baik, perempuan yang nakal bahkan mendapatkan nama panggilan seperti jablay, lonte atau perek. Dari adanya konstruksi tersebut, tentunya ada namanya penanaman nilai keperawanan pada perempuan yang kemudian akan membentuk konstruksi pemikiran keperawanan tersendiri.
Makna Tubuh Perempuan
Tubuh yang ada adalah yang dimiliki oleh setiap individu dan bersifat privat. Karena yang berhak mengatur tubuh seseorang adalah pemiliknya sendiri bukan orang lain. Namun tidak demikian, tubuh bisa dikuasai oleh negara dan bahkan diatur oleh negara. Seperti pandangan James S. Coleman, dengan konsep hak untuk mengontrol sumber yang tidak bisa dipindahtangankan, yakni tindakan seseorang itu sendiri yang kaitannya dengan hubungan kekuasaan bisa ditetapkan sebagai berikut: yaitu adanya hubungan kekuasaan satu pelaku atas pelaku lain terjadi, ketika yang pertama memiliki hak untuk mengontrol tindakan-tindakan tertentu dari pelaku yang lain.[1]
Negara bisa mengontrol karena negara punya otoritas akan tubuh untuk menundukkan. Seperti misalnya mengatur tubuh masyarakat terutama perempuan dalam berpakaian, alat kontrasepsi/KB, kehamilan, seksualitas, pernikahan, ekonomi, politik, pendidikan dan lain sebagainya.[2] Foucault tentang kuasa menyebutkan bahwa praktik pelaksanaan kuasa telah bergeser dari kekuasaan absolute dan top down kepada pendisiplinan, pengawasan dan teknik-teknik normalisasi. Model kekuasaan ini disebut model panoptikon. Pusat strategi kuasa ini adalah "disiplin". Tubuh ke-kuasaan adalah sasaran utama sehingga tubuh manusia modern adalah tubuh yang tunduk dan tubuh yang dibentuk. Salah satu perhatiannya adalah bagaimana tubuh dan seksualitas perempuan ditundukkan, diatur dan diorganisasikan lewat mekanisme kuasa tersebut. Tubuh pun lantas menjadi lahan politik.[3]
Tubuh perempuan merupakan salah satu sumber kekuasaan. Di dalam tubuh seorang perempuan terkandung daya tarik seksualitas yang bisa mengendalikan tingkah laku manusia, terutama libido laki-laki. Banyak sekali kepentingan yang bermain dalam tubuh seorang perempuan. Keluarga dan masyarakat merasa memiliki otoritas atau berhak mengatur perempuan. Lembaga agama dan negara juga merasa berkewajiban mengatur bagaimana perempuan memperlakukan tubuhnya. Ini semua karena tubuh perempuan menjadi simbol martabat dan harga diri laki -laki dan masyarakat. Tubuh perempuan juga menjadi media bagi simbol-simbol identitas moral dan agama melalui pengaturan cara berpakaian dan tanda-tanda di tubuhnya.[4]
Tanda-tanda dalam tubuh perempuan dikaitkan kepada keperawanan, tubuh perempuan dipatuhkan oleh konstruksi sosial dari adanya mitos keperawanan yang dibangun oleh budaya patriarki. Perempuan merasakan sendiri bahwa nilai-nilai dan norma di masyarakat lebih menekankan dan mengatur diri perempuan dibandingkan laki-laki. Nilai dan norma yang dibangun yang sebenarnya bersifat maskulin tidak bersifat feminin. Tubuh perempuan ditundukkan dengan seksualitas perempuan dimana seksualitas perempuan pun dikaitkan oleh keperawanan perempuan.
Tubuh Perempuan Sebagai ‘property’
Membahas tentang tubuh perempuan tentunya tidak akan terlepas dari kuasa dan dominasi. Banyak kepentingan yang merasa memiliki otoritas penuh untuk mengatur tubuh perempuan. Keluarga, masyarakat dan bahkan agama pun mengatur bagaimana perempuan memperlakukan tubuhnya sesuai nilai dan norma yang ditanamkan.
Tubuh perempuan dan eksistensi menjadi bagian yang saling mengikat ketika tubuh menjadi titik awal mengenai eksistensi perempuan itu sendiri. menjelaskan bahwa ada dua hal yang menjadi menarik terhadap kajian tubuh perempuan, yakni pertama bahwa tubuh termasuk ke dalam ranah seksualitas dan perempuan, akan tetapi kemudian mengalami paradoks dan ironi.[5]
Tubuh perempuan dapat dikatakan menempati posisi utama dalam wacana modernitas. Lebih lanjut Foucault menyebutnya sebagai fetisisme tubuh karena penetrasi regulasi wacana yang berpusat pada tubuh, utamanya persoalan rahim. Akibatnya, perempuan menjadi polisi bagi tubuhnya sendiri. Tubuh perempuan diawasi sedemikian rupa, semata–mata untuk memenuhi standar kriteria wacana yang beredar di masyarakat. Pengawasan ini sering disebut sebagai panoptisisme.[6]