SATU unggahan menarik di status whatsapp milik seseorang cukup menarik. Dalam status ini dituliskan, Bekerja dari Bali vs Stay at Home.
Status bernada satire ini menyusul perbincangan menarik di salah satu stasiun TV nasional, terkait rencana pemerintah membuat terobosan 'Bekerja dari Bali, Minggu (23/5/2021) malam.
Dalam siaran live dialog yang juga diikuti Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Parekraf), Sandiaga S Uno ini, banyak dikaitkan dengan rencana Menteri Keuangan Sri Mulyani, untuk tetap melakukan penghematan dan refocusing APBN untuk penanganan dan pengendalian dampak pandemi akibat Covid-19.
Kebijakan lanjutan ini tetap diambil pemerintah, karena masih dibutuhkan anggaran besar untuk penanganan Covid-19 dan pemulihan berbagai dampak yang ditimbulkannya. Diantaranya, untuk vaksinasi Covid-19 dan pemulihan ekonomi nasional (PEN) bagi terdampak pandemi.
Menjadi menarik dan memunculkan perdebatan, manakala pilihan upaya ini menyasar klaster dan kawasan yang lebih mengandalkan sektor pariwisata. Dan, pilihannya jatuh di provinsi Bali yang nantinya bakal menjadi tempat kerja pemerintahan dari 7 (tujuh) Kementerian/Lembaga.
Diantara tujuh kementerian/Lembaga ini di bawah naungan Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi. Program work from Bali ini ditandai dengan penandatanganan nota kesepahaman dukungan penyediaan akomodasi untuk peningkatan pariwisata The Nusa Dua Bali yang dipimpin oleh Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan.
Menjadi pertanyaan publik tentunya, mengapa harus dilakukan program Bekerja dari Bali (Work from Bali)? Kebijakan yang pastinya juga membutuhkan alokasi pembiayaan tersendiri yang tidak kecil bagi para ASN yang diusung untuk melakukan pekerjaan rutinnya ke sana.
Satu pertanyaan menggelitik pun muncul, apakah ini menjadi langkah pemerintah melakukan intervensi percepatan menggerakkan dan memulihkan kembali perekonomian di provinsi ini? Atau, memang pemerintah ingin melakukan balas budi, atas kontribusi Bali bagi pendapatan negara dari sektor pariwisata dan perekonomian penunjangnya?
Tak bisa dipungkiri memang, Bali menjadi salah satu penyumbang APBN terbesar dari sektor pendapatannya (pajak). Catatan dari pejabat DJPb Bali menyebutkan, akibat pandemi perekonomian Bali menurun drastis dalam setahun 2020 lalu, terkoreksi sejak triwulan I sebesar -1,44% (year on year) atau  -7,67% (q-to-q).
Sepinya kunjungan wisata di Bali menjadi faktor utama yang menyebabkan jatuhnya ekonomi ini. Karuan saja, disebutkan kunjungan wisman turun hingga 99,99% dari yang semula sebanyak 552.403 wisman (Desember 2019), menjadi 22 orang saja di bulan Agustus 2020. Karena tempat-tempat wisata sudah tidak ada pengunjungnya ini, otomatis seluruh kios di tempat wisata pun tutup. Miris juga memang!
Akan tetapi, bukan berarti pemerintah menutup mata atas kondisi sulit yang dialami di Bali ini. Bali sudah mendapatkan atensi khusus pemerintah. Setidaknya, Rp 8,32 triliun sudah digelontorkan selama 2020 lalu, dalam rangka Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) untuk terdampak pandemi di Bali.
Lalu, bagaimana sebenarnya kondisi yang dialami warga ataupun para pekerja yang selama ini menggantungkan hidup di Bali?
Hilman Muhlisin (44) misalnya, mengaku sangat merasakan dampak kesulitan akibat pandemi dan sepinya wisata di Bali lebih dari setahun terakhir. Setidaknya, ia sudah 11 tahun mencari penghidupan di Bali dengan bekerja jual-beli properti.
Akan tetapi, Hilman hanyalah perantau dari Jawa, dan juga mengandalkan hasil dari penjualan atau persewaan tanah, rumah atau pun villa milik bosnya.
"Bali sangat sepi. Semua masih mencoba bertahan (hidup), tetapi kalau pendatang sudah banyak yang pulang kampung," kata pria asal Kabupaten Malang, Jawa Timur ini.
Di sektor properti ini, didapati banyak pemilik atau pengusahanya yang justru gulung tikar dan tak bisa kembali berbisnis. Ini karena ketidakmampuan membayar gaji karyawan atau menutup hutang pinjamannya dari bank-bank.
Sebagai pekerja yang bermukim di Bali, Hilman tahu betul susahnya bertahan dan mencari kepastian sumber penghasilan. Ia dan yang lainnya pun punya harapan besar, ada kebijakan pemerintah pusat mengatasi kondisi sulit yang dialami di. Terlebih, karena pemerintah daerah Bali sendiri sudah tidak bisa diharapkan penuh dalam mencari solusinya.
Dengan dibukanya kembali bagi wisatawan, atau kegiatan pekerjaan dan ekonomi lainnya, maka diharapkan perekonomian di Bali bisa kembali normal. Misalnya saja, kata Hilman, akan banyak wisatawan atau profesional dari luar Bali, seperti Jakarta dan Surabaya, yang mencari tanah atau rumah untuk investasi dan hunian sendiri.
Jika rencana Bekerja dari Bali ini benar-benar direalisasikan, maka sejatinya dilakukan PEN jilid 2 di Bali. Optimisme Menteri Parekraf Sandiaga Uno memang boleh jadi pertimbangan, akan bisa menyelamatkan ekonomi Bali lebih cepat, dan mendongkrak kembali wisata dan multiple effect lainnya.
Akan tetapi, tetap perlu banyak dipertimbangkan soal efektifitas dan efisiensinya jika memboyong pekerjaan ke Bali, termasuk juga transparansi anggaran pembiayaan dan target kinerjanya. Di sisi lain, prinsip keadilan dan pemerataan juga tidak bisa diabaikan begitu saja oleh pemerintah.
Nah, kembali ke soal refocusing APBN bisa dikaji juga. Menkeu Sri Mulyani sudah memberi sinyal, bisa memotong anggaran Tunjangan Kinerja (Tukin) dan Gaji ke-13 ASN untuk keperluan refocusing ini.
Berapa sebenarnya anggaran yang dibutuhkan untuk mendukung program Bekerja dari Bali ini? Belum ada penetapan alokasi memang. Tetapi, bisa dikalkulasi berapa jumlah yang bisa disiapkan.
Data kepegawaian ASN pernah disebutkan, yakni sejumlah lebih dari 4,1 juta orang se Indonesia. Sementara, besaran Tukin ASN paling tinggi sebesar lebih dari Rp 32,6 juta dan terendah sebesar Rp 950 ribu per tahun. Jika ditotal, bisa didapatkan anggaran hingga triliunan rupiah yang bisa dihemat atau dialihkan bagi kebutuhan pembiayaan pandemik dan pemulihan dampak yang ditimbulkannya tersebut.
Apa yang diunggah dalam status whatsapp pemilik nomor di atas, barangkali bisa dimaknai kekhawatiran, atau pertanyaan yang harus bisa dijawab pemerintah. Bahwa, jangan sampai justru terjadi pemborosan anggaran refocusing dari cara bekerja ASN 7 Kementerian yang diboyong di Bali ini.
Mengingat, sudah disebut-sebut soal hunian sementara pegawai nantinya, yakni menempati setidaknya 16 hotel di kawasan The Nusa Dua yang ada di Pulau Dewata ini. Tidak jauh berbeda sebenarnya dengan tetap di rumah atau bekerja dari rumah. Akan tetapi, kebutuhan hidup dan pribadi di Bali tentu jauh lebih mahal biayanya, apalagi jika harus tinggal di hotel-hotel.
Kita bisa tengok juga harapan perlakuan berkeadilan bagi pegawai pemerintah yang lain. Sebut saja, pegawai pemerintah dengan perjanjian kontrak (PPPK) yang masih terkendala menerima hak-haknya. Setelah tergantung nasibnya setahun lebih setelah rekrutmen, baru diterima rapelan gaji mereka selama tiga bulan saja, terhitung sejak ditetapkan SK TMT (Tanggal Mulai Tugas) mereka per 1 Januari 2021 lalu.
Artinya, pemerintah masih sebenarnya masih punya hutang pembayaran gaji bagi PPPK setidaknya dua bulan. Bagi ASN golongan dan masa kerja rendah, tambahan penghasilan dari Tukin ataupun gaji ke-13 tentu saja sangat berarti. Bagaimanapun, mereka juga punya keluarga yang harus dihidupi dalam kondisi yang juga sama-sama kesulitan akibat terdampak pandemi.
Singkat kata, anggaran penanganan pandemi Covid-19 serta berbagai dampaknya masih sangat dibutuhkan. Akan tetapi, refocusing anggaran dari hak personal pegawai untuk keperluan membiayai pekerjaan ASN dalam lingkup kepariwisataan tetap harus dipastikan dan dimatangkan efisiensinya.
Haruskah intervensi pemerintah berbaju refocusing anggaran ini bertumpuk di Bali? (*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H