SAH-SAH saja bagi seorang presiden memastikan semua pembantunya di pemerintahan adalah figur yang punya kapasitas bisa dindalkan. Enam Kementerian strategis kini dipimpin figur baru melalui reshuffle kabinet terbatas belum lama ini. Sebagian diantaranya bukan orang baru, dengan track record pengalaman politik tingkat elit. Â
Melewati lebih dari 1,7 tahun pemerintahan Kabinet Indonesia Maju yang dipimpinnya, tentu menjadi pertimbangan tersendiri bagi Presiden Joko Widodo merombak kabinetnya. Situasinya tentu tidak sama, dengan awal-awal sebelum kabinet ini dibentuk. Apa yang dihadapi pemerintahan Jokowi kini lebih berat, dan tentunya tidak bisa dipikirkan sendirian. Â
Apakah perombakan kabinet dan penggantian menterinya tepat dilakukan saat ini? Indonesia dalam ideal yang dicitakan sudah terkonsep dalam visi dan program Nawa Cita pemerintahan Jokowi sejak periode pertama menjabat. Meneruskan kepemimpinannya di periode kedua, Jokowi dengan wakilnya KH Ma'ruf Amin, menginginkan percepatan dan pemajuan bangsanya dalam platform Kabinet Indonesia Maju. Â
Berbagai pilihan harus dilakukan, untuk merepresentasi kepentingan politik (praktis), etis, dan bahkan bisnis (ekonomi). Presiden Jokowi mencoba lebih realistis dengan pilihan pemerintahannya di periode kedua. Komposisi kabinet Indonesia Maju tidak lagi didominasi jatah (titipan) elit partai politik, melainkan juga banyak diisi kalangan profesional. Â
Jokowi juga mendisain gerbongnya dengan cukup keberanian, memasukkan para menteri muda sebagai pembantunya, meski mereka sangat minim pengalaman birokrasi dan diplomasi. Kepada para menteri muda ini, kontribusi besar dibebankan untuk mendasari kemajuan Indonesia masa depan. Sudahkah harapan ini terjawab? Â
Banyak yang terkaget memang dengan komposisi awal Kabinet Indonesia Maju pemerintahan Jokowi - Ma'ruf Amin. Nama-nama pesohor dan 'asing' dimasukkannya, sebut saja di jabatan Menteri Agama Fachrul Razi, ada Tito Karnavian (Mendagri), Nadim A Makarim (Mendikbud), hingga bekas rivalnya saat pemilihan presiden 2019 lalu, Prabowo Subianto, yang dijadikan Menteri Pertahanan. Â
Setidaknya, 10 (sepuluh) bulan pertama kerja Kabinet Indonesia Maju pemerintahan Jokowi cukup bisa meredam dinamika dan menjaga kondusifitas di Tanah Air.Â
Satu figur menteri tampak paling menonjol perannya di kabinet, yakni seorang Luhut Binsar Panjaitan. Berurang kali, sang jenderal ini bisa menemapatkan diri atau ditempatkan sebagai juru kunci dan garda terdepan atas berbagai isu dan polemik yang datang dari atau menyerang Istana. Â
Situasi tak dinyana-nyana muncul saat kabinet Indonesia Maju belum genap setahun bekerja. Awal Maret 2020 lalu, Indonesia tidak bisa mengelak dari situasi pandemi akibat virus corona, seperti halnya negara-negara lain di dunia. Tidak lumpuh memang kerja pemerintahan Jokowi bersama para menterinya. Akan tetapi, hampir semua disibukkan konsentrasinya pada situasi darurat kesehatan akibat pandemi ini. Â
Refocussing program dan rasionalisasi anggaran menjadi pilihan yang tak bisa ditolak, untuk pencegahan, penanganan, hingga pengendalian covid-19 berikut segala dampaknya. Sampai disini, fokus kerja kementerian mulai terpecah dan beberapa terkesan pincang. Salah satu sebabnya, gagap dan ketidaksiapan menghadapi situasi pandemik yang tidak biasa ini. Â
Konteks pandemi memang nyata dan harus tetap dihadapi kini hingga waktu yang tak bisa dipastikan. Skema pengendalian dan penanganan sudah jelas disiapkan pemerintah, tinggal realisasi dengan tetap mengedepankan penegakan dan pengetatan. Sudah saatnya memang, Presiden Jokowi lebih realistis ke depan, memikirkan rakyat dan bangsa ini. Indonesi ke depan tentunya tetap harus punya daya juang, tidak begitu pasrah dan menyerah pada keadaan. Â
Tantangan Indonesia Bersih, Damai, dan Bangkit
Jika reshuffle kabinet adalah pilihan bagi Jokowi, maka figur-figur terbaik lah yang dipilihnya untuk membantu mengatasi problematika dan tantangan Indonesia ke depan. Masih banyak masalah lain yang tidak bisa dikesampingkan begitu saja, dan butuh pemikiran segar dan aksi nyata untuk mengatasinya. Â
Apakah figur-figur menteri baru atau wakil menteri hasil reshuffle sudah pas? Bisa jadi, pilihan dan keputusan Jokowi adalah menempatkan figur kuat melebihi urusan pemerintahan. Bukan tidak mungkin juga, Jokowi dihadapkan pertimbangan pelik antara kepentingan politik kelompok versus respon situasi pandemik yang masih menghantui. Â
Terpilihnya Tri Rismaharini (bekas Wali Kota Surabaya) sebagai Menteri Sosial bisa mencerminkan banyak hal. Jatah menteri yang beralih ke Risma, tidak berubah untuk kader PDIP. Meski jabatan ini diganti karena dugaan kasus korupsi senilai Rp 1,7 triliun, yang menyeret eks-mensos dari PDIP, Juliari P Batubara.
Perkara bantuan sosial (bansos) pengendalian dampak covid-19 memang rentan. KPK jauh-jauh hari juga sudah mewanti-wanti adanya potensi penyalahgunaan wewenang memanfaatkan bansos ini. Bukan tidak mungkin, kasus ini akan meluas merembet dan menyeret lebih banyak pelaku pelanggaran serupa hingga tingkat daerah. Â
\Indikasi sejak awal keruwetan terkait bansos covid-19 ini sudah muncul. Mulai pendataan penerima banyak yang tidak tepat, dan selayaknya menerima. Kasus kemunculan nama-nama penerima satu keluarga, untuk jenis bantuan berbeda adalah contohnya.Â
Apakah secara perorangan atau komunal tertentu, bansos ini berkaitan langsung dengan kepentingan politik pilkada misalnya? Wallahua'lam. Dan, pertanyaan ini juga tak ada salahnya ditelusur. Â
Nah, kembali soal Mensos Risma, terlepas ia juga kader parpol, sosoknya dikenal tegas, lurus, dan tukang 'bersih-bersih' dan benah-benah. Risma juga tanpa kompromi, tak segan turun tangan sendiri, dan tanpa pakewuh jika ada yang kurang pas dalam pelayanan publik. Untuk Indonesia bersih, dari penyalahgunaan kekuasaan atau kewenangan dan korupsi ini lah, seorang Tri Rismaharini dibutuhkan membantu Jokowi. Â
Situasi perpolitikan, juga keamanan dan ketertiban, di Tanah Air bukan berarti tanpa ancaman. Pemerintahan Jokowi tentunya menyadari hal ini. Euforia berlebihan dari kembalinya Habib Rizieq Sihab (RS) misalnya, bisa saja membuat sebagian elit penguasa meradang.Â
Bagaimanapun, RS adalah simbol sebuah kekuatan dan idealisme kelompok agama tertentu, yang bisa jadi masih menyimpan harapan besar, bahkan ketidakpuasan, pada penguasa negeri ini. Â
Dalam konteks ini, memasukkan nama Yaqut Kholil Qoumas, ketua umum Gerakan Pemuda Ansor, ada pertimbangan khusus. GP Ansor selama ini paling getol dan terdepan mengklaim penjaga NKRI. NKRI yang diyakini tak hanya warisan tokoh bangsa, namun juga amanat ulama terdahulu yang harus dijaga dan dipertahankan.Â
Dengan jutaan anggota Banser di bawahnya, Qoumas selama ini termasuk paling keras berseberangan dengan sepak terjang pergerakan ormas garis keras seperti FPI (Front Pembela Islam).
Apa relevansinya dengan jabatan Menteri Agama Yaqut Qoumas? Tugas menteri agama bukan semata soal menjamin keberagamaan rakyat. Lebih dari itu, soal kerukunan hidup ummat dan keyakinan beragama juga menjadi konsentrasi. Lokus kerukunan dan cara keberagamaan ini yang selalu mendapat ujian dan kerap merepotkan pemerintahan Jokowi. Â
Ada kekhawatiran penulis dalam hal ini, menarik kepala gerbong ormas dan kepemudaan besar dalam kabinet, juga untuk kepentingan ini. Menjaga Indonesia damai memang harapan dan kewajiban siapapun.Â
Akan tetapi, melibatkan langsung sesama anak bangsa dalam konfrontasi tentu nggak pas dan bisa membahayakan. Terlebih, jika itu semata untuk membela kepentingan sempit (idealisme dan syahwat kekuasaan) atas dasar apapun.
Lain lagi soal munculnya nama Sandiaga Salahuddin Uno, yang didapuk menjadi Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif. Atensi khusus Jokowi mendongkrak core bisnis berbasis kepariwisataan di bawah Whisnutama memang belum signifikan hasilnya.Â
Passion dan pengalaman industri media dan entertainment seorang bos grup NET Mediatama dan direktur utama beberapa TV lokal ini, belum cukup bisa memajukan kemunculan pelaku-pelaku ekonomi dan industri kreatif baru yang lebih kompetitif. Â
Apakah situasi pandemi dan kemacetan atau resesi ekonomi jadi alasannya? Entahlah. Dan, nama Sandiaga Uno akhirnya menjadi pilihan menggantikan Whisnutama. Bukan lantas tenggelam seorang Sandiaga pascapilpres 2019 yang saat itu berpasangan dengan capres Prabowo Subianto. Misi pemberdayaan ekonomi OKE OCE yang diusungnya tetap dijalankan meski tanpa uforia pemberitaan media. Â
Masalahnya kemudian, dalam situasi pandemik yang tidak terbayangkan sebelumnya, mampukah Sandiaga menjadi pendobrak kelesuan pariwisata dan industri kreatif Indonesia.Â
Konsep pemberdayaan bisa jadi modal penting memang. Akan tetapi, yang dibutuhkan di fase baru pandemi tidak sekadar normalisasi, namun juga semangat kebangkitan. Â
Bergairahnya perekonomian lokal sebagai efek pariwisata dan ekonomi kreatif akan menjadi tugas berat Menteri Sandiaga Uno. Di awal keterangan persnya, Sandiaga Uno memang sudah mematok target, bahwa butuh inovasi dan adaptasi untuk mendongkrak kelesuan ekonomi kepariwisataan di masa pandemi ini. Ia mengklaim, sekitar 70 persen pelaku yang tergabung dalam OKE OCE selama ini sudah bergerak di sektor industri kreatif. Â
Terlepas itu juga, Sandiaga juga harus bisa membuktikan nyinyir yang sempat mengemuka atas bergabungnya di kabinet Jokowi-Ma'ruf Amin.Â
Apakah jabatan menteri yang diamanatkan padanya hanya kado rivalitas politik atau sebatas reuni politik bersama bekas rivalnya? Kita tunggu saja gebrakan bos muda dengan kekayaan pribadi 5,7 triliun ini. Â
Singkat kata, setidaknya dengan dipilihnya tiga figur menteri baru di atas, akan bisa dilihat kepentingan (si)apa di baliknya. Tidak ringan tugas para menteri baru ini tentunya, terlebih ada bayang-bayang persoalan masa lalu sebelumnya.Â
Marwah parpol harus dikembalikan untuk menjaga trust publik. Juga ketegasan pemerintahan Jokowi, tanpa harus sedikit-sedikit mengedepankan aparat sebagai garansi pertama. Â
Terlepas itu semua, jiwa besar Jokowi layak diapresiasi yang lebih mementingkan kepentingan besar negara dan kemaslahatan bersama. Jokowi tetap merangkul dan memberi kesempatan siapapun yang dianggap layak dan kompeten. Setidaknya bagi Jokowi, tidak ada istilah musuh abadi ataupun 'anak macan' mengiringi rejim kekuasaannya. (*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H