Mohon tunggu...
Khoirul Amin
Khoirul Amin Mohon Tunggu... Jurnalis - www.inspirasicendekia.com adalah portal web yang dimiliki blogger.

coffeestory, berliterasi karena suka ngopi.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Politik Pendidikan sudah Pro Guru, Berbanding Luruskah?

25 November 2020   19:10 Diperbarui: 26 November 2020   09:26 206
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

ilustrasi flasmob ucapan Hari Guru (dok. pribadi/ist)

Selamat Hari Guru Nasional 2020!

KUATNYA fondasi dan penyelenggaraan pendidikan tak hanya bergantung pada kebijakan dan sistem pendidikan yang ada. Idealisme, eksistensi, juga kapasitas individual dan kolektif para guru, juga tak kalah menentukan keberhasilan sebuah pendidikan.

Ya, pondasi kuat, dengan eksistensi dan kapasitas profesionalisme terbaik pelaku pendidikan, akan menjadikan isi dan hasil pendidikan kita berbobot dan tidak keropos. Menjadi musykil manakala pendidikan hanya terlihat keramaian dan kemewahan fisiknya, namun anak didiknya tidak terisi secara utuh muatan pendidikan seperti yang dicita-citakan.

Sudahkah benar-benar terbangun kuat kapasitas dan kualitas penyelenggaraan pendidikan kita? Pada aspek penguatan sumberdaya guru, sudahkah kebijakan yang diberlakukan berbanding lurus hasilnya pada semua jenjang pendidikan yang ada?

'Euforia' Sertifikasi Guru
Lahirnya Undang-Undang Guru dan Dosen (UUGD) Tahun 2005 menjadi tonggak perubahan dan prospek kemajuan pendidikan kita. Kebijakan esensi UUGD ini, adalah peningkatan kesejahteraan dan kualifikasi pendidik melalui program sertifikasi guru.

Ada orientasi dan harapan besar dari program ini, memunculkan lompatan kemajuan pendidikan Indonesia, karena pemerintah lebih berkonsentrasi pada pemberdayaan yang dimulai dari harkat dan kapasitas pendidiknya.

Diberlakukan sejak 2006 silam, program sertifikasi guru direalisasikan dengan dengan diberikannya tunjangan profesi guru (TPG) sebesar satu kali gaji pokok guru ASN perbulan. Beberapa tahun pertama dijalankan, uji sertifikasi guru sebagai syarat diakui keprofesiannya dan mendapatkan TPG bisa dibilang terlalu gampang. Cukup mengumpulkan borang portofolio selama menjadi pendidik, lalu dinilai kelaikannya.

Ya, awal-awal program ini lebih terkesan reward besar-besaran yang diberikan pemerintah bagi pengabdian guru. Baru beberapa tahun kemudian, diberlakuan diklat dan uji sertifikasi yang lebih serius. Hingga berakhir pada 2019 lalu, sertifikasi guru semakin ketat dan sangat berbobot pelaksanaannya.

Tak ayal, sebagian guru yang kurang siap dan memang masih rendah kompetensinya, terpaksa gugur dan harus mengulang mengikuti program yang sama. Lebih dari 14 tahun diberlakukan, kita bisa lihat kini peningkatan kinerja dan kapasitas pendidik. Seperti apa?

Pembelajar Abad 21 hingga Tantangan Zonasi

Memasuki tahun 2000 an, banyak disain dan skema besar dilahirkan terkait pembangunan sumberdaya manusia Indonesia melalui pendidikan. Sejumlah kebijakan nasional pendidikan dibuat, untuk memperbaharui dan lebih menyempurnakan tatanan penyelenggaraan pendidikan yang ada.

Dalam konteks ini, pendidikan jelas-jelas menghadapi era baru, yang lebih fokus pada peningkatan sumberdaya untuk melahirkan manusia Indonesia yang lebih unggul. Kemampuan anak-anak bangsa yang dibentuk melalui pendidikan, diharapkan hanya sekadar mampu baca-tulis-hitung dasar saja tentunya.

Bagi satuan pendidikan dan pendidik, era baru ini dihadapkan pada tantangan untuk mampu menerapkan pembelajaran abad 21. Sementara, bagi peserta didik berwujud salah satunya, pada program revolusi mental dan penguatan karakter, atau revolusi industri 4.0, terutama bagi pendidikan kejuruan. Ya, dalam era baru pendidikan ini, pendidik dan peserta didik sejatinya sama-sama dihadapkan pada tantangan berat dan orientasi yang tak mudah untuk diwujudkan.

Guru, dengan segenap keterbatasannya, mau tak mau dihadapkan pada pilihan pembelajaran yang lebih moderen dan bervariasi. Paling mencolok berkiblat pada penguasaan pembelajaran high order thinking skills (HOTS) dan yang berbasis scientific, technology,  engineering, and mathematics (STEM). Kedunya tak lepas dari adopsi dan penguasaan digitalisasi dan internet sebagai sumber maupun alat/media pembelajaran.

Gagap perkembangan teknologi pembelajaran memang masih ada, membayangi peningkatan kemampuan para guru kita. Guru juga menjadi sangat disibukkan dengan pekerjaan administratif yang kerap juga tidak terkait langsung dengan kewajiban pembelajaran. Sementara, pada saat yang sama tanggung jawab penguatan karakter dan mental anak didik tak bisa dikesampingkan tiap saat.

Soal kebijakan zonasi mutu pendidikan, sejatinya menjadi ujian nyata peran guru. Dengan sistem zonasi, guru tak bisa lagi minta enaknya, memilih mengabdi hanya di sekolah dengan kemampuan siswa bagus. Menumbuhkan kemauan belajar dan kemampuan akademik pada anak dengan berbagai latar belakang, akan tidak lebih mudah tentunya dibandingkan pada anak dengan kemampuan sama.

Dengan anak didik lebih beragam, pilihan guru sejatinya hanya dua: menjadikan anak lebih pandai dari sebelumnya, atau memaksimalkan bakat dan potensi lain diluar kemampuan akademiknya yang pas-pasan. Jika keduanya tidak bisa dilakukan, maka bisa dikatakan guru tidak cakap atau telah gagal menjalankan perannya.

Efektifitas hasil kebijakan zonasi mutu memang dilihat selama proses belajar siswa. Jika standarisasi nilai ujian (akhir) yang digunakan sebagai ukuran, tentunya belum cukup waktu untuk bisa disebut berhasil tidaknya. Kebijakan zonasi mutu ini diluncurkan era Mendikbud Muhajir Effendi (kini Menko Pembangunan Manusia dan Kebudayaan). Bagaimana kabarnya implementasi zonasi mutu ini, jawabanya kini bergantu Mas Menteri Nadiem Makarim. He...

Pandemi, Optimisme dan Merdeka Belajar
Satu semester lebih, dunia pendidikan di Tanah Air tampak lesu dan seperti mati suri tersebab darurat pandemi corona berkepanjangan. Ghirah (semangat) dan riuh rendah tak lagi tampak di lingkungan sekolah dan ruang kelas. Yang tampak hanya bangku-bangku kosong yang biasanya diduduki pelajar selama berjam-jam mengikuti pelajaran gurunya.

Kekawatiran kerap muncul, kosongnya kelas dan bangku belajar pada akhirnya bisa menyebabkan 'kekosongan' dalam otak anak. Kekosongan yang bahkan bisa memicu terjadinya kemerosotan generasi. Tetap terhubung dengan anak didik saat belajar daring dan jarak jauh memang. Akan tetapi, asah, asih dan asuh sesuai tumbuh-kembang anak, yang biasanya bisa diberikan guru menjadi kering makna dan impersonal.

Ancaman pandemi berkepanjangan kini, menjadikan anak rentan mengalami banyak perubahan. Tak hanya kebiasaan belajarnya, melainkan pula pekerti dan karakter positifnya. Penguatan pendidikan karakter dan revolusi mental yang diikhtiarkan pemerintahan Joko Widodo, mudah saja bisa hilang ruh dan signifikansinya, jika tidak bisa diberikan secara langsung kepada anak bangsa.

Optimisme sesuai tema Hari Guru Nasional 2020 ini, begitu relevan dan bisa jadi harga mati yang tak bisa lagi dikesampingkan, dalam situasi (pasca)pandemi kini. Bahwa, kelesuan akibat pandemi tidak lantas diwariskan pada anak-cucu kita sebagai sebuah kepasrahan, daya juang melemah, terlebih keputus-asaan.

Singkatnya, generasi anak-cucu kita tetap harus dijaga dan diselamatkan harapan dan optimismenya. Jangan sebaliknya jadi korban kemerosotan dan dipaksa menjadi cepat dewasa dalam kelemahan. Optimisme yang bisa membebaskan diri dari rasa 'terkungkung dan terpenjara', bahkan ketika ingin belajar sekalipun. (*)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun