Mohon tunggu...
Khoirul Amin
Khoirul Amin Mohon Tunggu... Jurnalis - www.inspirasicendekia.com adalah portal web yang dimiliki blogger.

coffeestory, berliterasi karena suka ngopi.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Politik Pendidikan sudah Pro Guru, Berbanding Luruskah?

25 November 2020   19:10 Diperbarui: 26 November 2020   09:26 206
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Memasuki tahun 2000 an, banyak disain dan skema besar dilahirkan terkait pembangunan sumberdaya manusia Indonesia melalui pendidikan. Sejumlah kebijakan nasional pendidikan dibuat, untuk memperbaharui dan lebih menyempurnakan tatanan penyelenggaraan pendidikan yang ada.

Dalam konteks ini, pendidikan jelas-jelas menghadapi era baru, yang lebih fokus pada peningkatan sumberdaya untuk melahirkan manusia Indonesia yang lebih unggul. Kemampuan anak-anak bangsa yang dibentuk melalui pendidikan, diharapkan hanya sekadar mampu baca-tulis-hitung dasar saja tentunya.

Bagi satuan pendidikan dan pendidik, era baru ini dihadapkan pada tantangan untuk mampu menerapkan pembelajaran abad 21. Sementara, bagi peserta didik berwujud salah satunya, pada program revolusi mental dan penguatan karakter, atau revolusi industri 4.0, terutama bagi pendidikan kejuruan. Ya, dalam era baru pendidikan ini, pendidik dan peserta didik sejatinya sama-sama dihadapkan pada tantangan berat dan orientasi yang tak mudah untuk diwujudkan.

Guru, dengan segenap keterbatasannya, mau tak mau dihadapkan pada pilihan pembelajaran yang lebih moderen dan bervariasi. Paling mencolok berkiblat pada penguasaan pembelajaran high order thinking skills (HOTS) dan yang berbasis scientific, technology,  engineering, and mathematics (STEM). Kedunya tak lepas dari adopsi dan penguasaan digitalisasi dan internet sebagai sumber maupun alat/media pembelajaran.

Gagap perkembangan teknologi pembelajaran memang masih ada, membayangi peningkatan kemampuan para guru kita. Guru juga menjadi sangat disibukkan dengan pekerjaan administratif yang kerap juga tidak terkait langsung dengan kewajiban pembelajaran. Sementara, pada saat yang sama tanggung jawab penguatan karakter dan mental anak didik tak bisa dikesampingkan tiap saat.

Soal kebijakan zonasi mutu pendidikan, sejatinya menjadi ujian nyata peran guru. Dengan sistem zonasi, guru tak bisa lagi minta enaknya, memilih mengabdi hanya di sekolah dengan kemampuan siswa bagus. Menumbuhkan kemauan belajar dan kemampuan akademik pada anak dengan berbagai latar belakang, akan tidak lebih mudah tentunya dibandingkan pada anak dengan kemampuan sama.

Dengan anak didik lebih beragam, pilihan guru sejatinya hanya dua: menjadikan anak lebih pandai dari sebelumnya, atau memaksimalkan bakat dan potensi lain diluar kemampuan akademiknya yang pas-pasan. Jika keduanya tidak bisa dilakukan, maka bisa dikatakan guru tidak cakap atau telah gagal menjalankan perannya.

Efektifitas hasil kebijakan zonasi mutu memang dilihat selama proses belajar siswa. Jika standarisasi nilai ujian (akhir) yang digunakan sebagai ukuran, tentunya belum cukup waktu untuk bisa disebut berhasil tidaknya. Kebijakan zonasi mutu ini diluncurkan era Mendikbud Muhajir Effendi (kini Menko Pembangunan Manusia dan Kebudayaan). Bagaimana kabarnya implementasi zonasi mutu ini, jawabanya kini bergantu Mas Menteri Nadiem Makarim. He...

Pandemi, Optimisme dan Merdeka Belajar
Satu semester lebih, dunia pendidikan di Tanah Air tampak lesu dan seperti mati suri tersebab darurat pandemi corona berkepanjangan. Ghirah (semangat) dan riuh rendah tak lagi tampak di lingkungan sekolah dan ruang kelas. Yang tampak hanya bangku-bangku kosong yang biasanya diduduki pelajar selama berjam-jam mengikuti pelajaran gurunya.

Kekawatiran kerap muncul, kosongnya kelas dan bangku belajar pada akhirnya bisa menyebabkan 'kekosongan' dalam otak anak. Kekosongan yang bahkan bisa memicu terjadinya kemerosotan generasi. Tetap terhubung dengan anak didik saat belajar daring dan jarak jauh memang. Akan tetapi, asah, asih dan asuh sesuai tumbuh-kembang anak, yang biasanya bisa diberikan guru menjadi kering makna dan impersonal.

Ancaman pandemi berkepanjangan kini, menjadikan anak rentan mengalami banyak perubahan. Tak hanya kebiasaan belajarnya, melainkan pula pekerti dan karakter positifnya. Penguatan pendidikan karakter dan revolusi mental yang diikhtiarkan pemerintahan Joko Widodo, mudah saja bisa hilang ruh dan signifikansinya, jika tidak bisa diberikan secara langsung kepada anak bangsa.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun