Pada 5 Oktober lalu bersamaan juga dengan diperingatinya Hari Guru Sedunia (HGS). Hari yang nyaris tidak menjadi perhatian kebanyakan orang, bahkan mungkin bagi kalangan guru sendiri kita sendiri.
Ada yang menggelitik untuk direfleksikan dari momen Hari Guru Sedunia ini, meski tidak cukup referensi asal mula munculnya hari peringatan internasional ini.Â
Bagi penulis, memang lebih menarik membincang bagimana guru menghadapi tantangan "dunia kekinian", bukan soal seremonial hari HGS itu sendiri. Karuan saja, yang tantangan dihadapi semua guru di dunia sama, bagaimana bisa bisa membekali generasi di tengah 'dunia' tak berbatas (borderless world) itu sendiri. Â
Sebelumnya, sedikit kita menilik munculnya para sosok guru bangsa, yang sejatinya bisa disebut juga sebagai guru dunia. Setidaknya bagi penulis, sosok guru Indonesia yang sudah mendunia ada pada sang Panglima Jenderal Soedirman, atau Eyang Baharuddin Jusuf Habibie. Kemampuan dan keluasan ilmu keduanya sudah diakui dunia internasional setidaknya pada jamannya.
Sang Panglima Besar, yang belakangan dikenal sebagai pahlawan dan tokoh perjuangan Kemerdekaan Republik Indonesia, tak ubahnya juga seorang guru panutan.Â
Pak Dirman adalah salah satu tokoh pemuda yang memang akhirnya gagal menyelesaikan sekolah guru setingkat SMA kala itu, sebelum berjuluk jenderal panglima. Berstatus calon guru, namun cara berpikir Soedirman sudah sangat jauh dan luas, melebihi situasi sosial negara kala itu.
Dalam pikirannya, Keindonesiaan haruslah berdaulat, agar bangsa dan rakyatnya juga dihargai dan diakui dunia. Selain ahli dalam berstrategi perang mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia, kemampuan berdiplomasi Soedirman di Konferensi Meja Bundar (KMB) bersama Mohammad Hatta di Den Haag Belanda 27 Desember 1949, telah membuktikan anak bangsa Indonesia tak bisa diremehkan.
Berbeda halnya, BJ Habibie yang dianugerahi Tuhan Yang Maha Esa menjadi manusia super cerdas, sejatinya adalah mahaguru dunia. Kecerdasan otak Habibie muda jauh melampaui jamannya, saat Indonesia masih tertatih-tatih setelah mengalami penjajahan ratusan tahun yang dialami bangsanya. Ilmu astrofisika dan kedirgantaraan yang bisa dikuasai Habibie, menjadikan Indonesia semakin dikenal dunia.
Sang mahaguru Habibie sempat dilirik negara Jerman, yang memberinya kesempatan pendidikan tinggi dan mengembangkan keilmuan yang dimiliki. Prototype produk pesawat terbang mampu disumbangkan putra bangsa terbaik ini.Â
Pesawat N250 Gatotkaca adalah karya pertama yang diprakarsai BJ Habibie, dan diterbangkan pertama kali 1995 silam. Pesawat jenis Boeing yang kini banyak menjadi pesawat terbang komersial berbagai negara menjadi bukti, bahwa keilmuan guru Indonesia telah melahirkan kemaslahatan bagi bangsa-bangsa di dunia.
Antara tahun 1997 hingga 2000, Terry menghabiskan waktunya untuk melakukan penelitian yang sebagian besar dilakukan di Departemen Fisika UI, Universitas George Washington, Washington DC, Amerika Serikat, Okayama University of Sciences Jepang, Institut Kernphysik, University of Mainz, Jerman. Tetapi, ilmuan ini kini lebih memilih untuk meniti karir menjadi ilmuwan fisika Indonesia setelah melihat banyak yang harus dan bisa dikerjakannya di Indonesia.
Tentunya, masih banyak lagi contoh para guru kita yang sudah mendunia, dan sebagian besar mungkin tidak muncul sebagai tokoh atau pesohor. Memang, keberadaan guru tidak harus superhebat dan diakui dunia.Â
Setidaknya, guru kita adalah orang-orang terbaik bagi anak-anak bangsa, menjadi pahlawan memerangi kebodohan dan bagian dari lahirnya akal sehat, mental dan pekerti luhur di negeri sendiri. Â
Sejarah, Nilai, dan Akulturasi Budaya
"Bendera Merah Putih-nya kok dipasang hanya setengah siang, kak. Kenapa?" tanya penulis suatu ketika.
"Nggak tahu," jawab polos si Kakak. Jawaban inipun tetap terulang sama, saat ia kembali ditanya hal yang sama pula.
Dialog di atas terjadi bertepatan di saat Indonesia tengah memeringati penggalan sejarah kelam yang jamak dikenal sebagai hari terjadinya G30S/PKI.Â
Ilustrasi dialog ini pun menyadarkan kita, setidaknya bagi penulis sendiri, adanya kesenjangan pemaknaan pada generasi anak-anak kita kini. Sebuah masalah serius untuk direfleksi bersama-sama tentunya!
Sangat sulit sebenarnya, mempertanyakan apakah peristiwa sejarah yang pernah dialami bangsa Indonesia tidak tersampaikan secara utuh di bangku sekolah mereka? Tetapi tidak salah juga sekiranya, kita memastikan kembali sejauh mana penanaman dan penguatan nilai-nilai positif, diambil dari berbagai penggalan sejarah dari masa ke masa bangsa kita.
Kembali pada perbincangan soal guru, maka tak bisa dianggap sepele soal kesejarahan, nilai-nilai dan budaya yang harus juga bisa ditransformasikan oleh para guru.Â
Ya, tantangan pendidikan dan guru kini dan masa mendatang jauh lebih berat: bagaimana bisa mencerdaskan anak didik sekaligus tetap merawat keluhuran nilai dan budaya ke-Indonesia-an pada putra-putri bangsa.
Merawat dan menjaga akar sejarah bangsa kini menjadi pekerjaan sangat berat. Ini karena literatur dan narasi otentik tentang sejarah tidak begitu gampangnya dilirik generasi kekinian. Menyajikan sejarah secara utuh harus lebih kreatif, agar menjadi daya tarik yang tidak membosankan.Â
Artifisial sejarah dalam museum atau diorama agak sulit diandalkan untuk bisa dipelajari langsung secara menyeluruh, terlebih dalam situasi yang kurang memungkinkan akhir-akhir ini.
Tantangan sangat berat lainnya, adalah bagaimana nilai-nilai kebangsaan dan ke-Indonesia-an bisa tertanamkan kuat-kuat pada anak bangsa. Nilai-nilai filosofis dan ideologis yang murni, tanpa tercampuri kepentingan apapun di balik lahirnya.Â
Pemaknaan nilai bebas kepentingan ini pula, yang nantinya akan membebaskan generasi masa depan dari jebakan primordialisme dan fanatisme berlebihan yang terwariskan turun temurun.
 Paling penting dan krusial, adalah memerangi kemerosotan nilai akibat serbuan budaya yang tak patut dan sepantasnya. Dunia kini tak lagi tertutup, bisa dimasuki fenomena apapun yang datangnya dari luar.Â
Perkembangan teknologi informasi sangat cepat dan instan, secepat pula bisa melahirkan gejala sosial dan budaya baru. Bagaimana pendidikan melalui para guru dan intelektual pendidik bisa menyelamatkan anak-anak generasi kita dari akulturasi budayanya sendiri harus menjadi perhatian bersama!
Pendek kata, nilai-nilai baik dari sejarah ataupun peradaban budaya, bukanlah sesuatu yang given dan selalu utuh. Banyak proses yang harus dilalui mengirinya lahirnya nilai-nilai luhur yang diwariskan para pendahulu.Â
Demikian juga, nilai-nilai ini harus tetap tertanam kuat dan dijaga, tidak bisa dititipkan begitu saja pada teks atau narasi yang diharuskan untuk dibaca dan dipelajari anak-anak kita. Siapa bisa menjamin nilai dan pakerti luhur ini bisa tertancam kuat tanpa penanaman dan penyadaran?
Transformasi ilmu dan pengetahuan boleh didapatkan dengan berbagai metode apapun dan dari sumber manapun. Namun demikian, peran penanaman dan penguatan nilai-nilai baik dan pakerti luhur dari para guru kita tak boleh tergantikan.Â
Jika hal ini bisa dijaga dengan kuat, sehebat dan secerdas apapun anak-anak bangsa generasi mendatang, kelak tidak akan kering khasanah dan nilai-nilai ke-Indonesia-annya. Semoga!
Jauh di masa sebelum abad 12 Masehi, ilmuan muslim Ibnu Sina atau dikenal juga sebagai Avicenna di Dunia Barat sudah mengingatkan kita. Pemikirannya banyak berdampak besar di dunia, terlebih pada bidang kedokteran. Ibnu Sina beranggapan, tujuan pendidikan harus diarahkan pada pengembangan seluruh potensi yang dimiliki oleh seseorang. Potensi itu tidak hanya menuju pada perkembangan fisik, melainkan juga intelektual dan budi pekerti.
Pemikiran Ibnu Sina juga penting diperhatikan di era kekinian, bahwa pendidikan juga harus mampu mempersiapkan seseorang agar dapat hidup bermasyarakat, tidak terlalu asyik dengan diri sendiri dan asing terhadap lingkungan sekitar. (*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H