Mohon tunggu...
Fadli Muhamad
Fadli Muhamad Mohon Tunggu... Pustakawan - Writer

Love reading, love writing

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Lantai Tiga Belas

24 November 2023   12:57 Diperbarui: 24 November 2023   14:30 167
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Pada beberapa keyakinan, angka tiga belas merupakan angka pembawa sial. Oleh karena itu, beberapa gedung bertingkat tidak memiliki lantai tiga belas pada bangunannya. Tetapi bukan hanya angka tiga belas saja yang menjadi angka kesialan, bagi beberapa keyakinan, ada angka-angka lain yang mereka yakini mengandung unsur kesialan. Seperti halnya pada masyarakat keturunan Tiongkok, justru menjadikan angka empat sebagai angka kesialan bagi mereka. Hal tersebut dikarenakan angka empat memiliki pengucapan yang hampir mirip dengan kata kematian, oleh karena itu masyarakat Tiongkok sangat menghindari segala hal yang berhubungan dengan angka empat. Seperti membeli rumah atau memesan kamar hotel atau bahkan memilih nomor telepon, mereka sangat menghindari agar tidak menerima angka empat tersebut.

Lain halnya dengan masyarakat Jepang, mereka justru menjadikan angka tiga dan sembilan sebagai angka kesialan bagi mereka. Alasan mereka kurang lebih sama seperti masyarakat Tiongkok, yakni karena pengucapan angka tersebut terdengar mirip dengan arti penyiksaan atau penderitaan. Bahkan saat sedang berfoto sekali pun, jika yang ada di dalam foto berjumlah tiga orang, maka diyakini bahwa salah satu dari orang tersebut akan meninggal dunia tidak lama setelah foto tersebut diambil.

Pada kasus lainnya, terdapat dari masyarakat Italia, yang menganggap bahwa angka tujuh belas sebagai angka sial. Keyakinan akan kesialan angka tujuh belas bagi masyarakat Italia, sama buruknya dengan kepercayaan masyarakat Amerika yang meyakini bahwa angka tiga belas adalah angka keramat, bahkan beberapa diantaranya menyebut itu sebagai angka terkutuk. Hal tersebut dikarenakan masyarakat Italia---kebanyakan, atau mungkin memang sebagian besarnya---masih menggunakan huruf Romawi dalam segala aspeknya. Jadi, saat mereka menulis angka tujuh belas maka akan berbentuk menjadi XVII, dan jika di-anagram-kan bisa berbunyi VIXI, yang mengandung arti 'aku sekarang mati' atau 'hidupku sudah berakhir'.

Dalam keyakinan di tempat ini---di tempatku bekerja---menerapkan angka tiga belaslah yang menjadi angka sial. Karena sang Manajer di sini merupakan keturunan Amerika, jadi dia menghapus lantai yang bertuliskan angka tiga belas dari tempat ini, dan menggantinya dengan angka 12A dan 12B. Entah kenapa saat sekarang ini justru lamunanku mengarah kepada hal-hal tersebut, tentang angka terkutuk dan hal-hal mistis di dalamnya. Mungkin karena aku teringat pada peristiwa yang terjadi di tempatku bekerja ini beberapa bulan yang lalu. Sebuah peristiwa yang cukup menggemparkan hampir setiap jantung yang ada di gedung ini. Yaitu, seorang wanita pegawai hotel bagian pelayanan kamar ditemukan tergeletak di dasar lobi dengan luka yang sangat serius dan hampir semua tulang yang menyangga tubuhnya yang ramping hancur tidak keruan. Diduga wanita tersebut melompat dari salah satu kamar tamu saat sedang membersihkan kamar tersebut yang berada di lantai empat belas dan langsung terjun meluncur ke aspal beton yang berada di bawahnya. Berdasarkan catatan dari petugas resepsionis, penghuni kamar tersebut sudah melakukan check out, pergi meninggalkan hotel ini pada pukul dua siang. Jadi sudah dipastikan kamar itu kosong saat wanita itu berada di kamar tersebut. Belum diketahui motif sesungguhnya dari kasus itu, tetapi dari apa yang dipublikasikan, hal tersebut disebabkan karena murni bunuh diri.

Media asing maupun media lokal menyoroti kasus itu dengan sangat gila, bahkan hampir membuat hotel---tempatku bekerja ini---hampir hibernasi karena media yang terlalu menusuk tajam tentang kenyamanan tempat ini. Banyak yang memberitakan bahwa sebelum si korban meninggal dengan cara mengenaskan seperti itu, dirinya sempat berhalusinasi tentang dirinya yang berada di lantai yang bernomorkan angka tiga belas. Aneh! Padahal hotel ini saja tidak menerapkan lantai dengan nomor tiga belas! Dari situlah banyak rumor dan tulisan-tulisan yang tidak koheren yang menulis tentang hotel ini serta banyak artikel-artikel dan pemberitaan yang menulis bahwa hotel ini adalah hotel angker, keramat, dan semacamnya. Karena media yang sangat menyoroti tentang hal itu, tidak sedikit para turis asing maupun lokal enggan untuk menghabiskan waktu mereka di hotel ini, yang menyebabkan pendapatan dari hotel ini menurun drastis.

Banyak karyawan yang akhirnya memutuskan untuk menandatangani ulang kontrak kerja mereka untuk beralih ke tempat baru, karena terlalu sepinya pengunjung di hotel ini. Dan bagi kami yang bertahan harus siap menghadapi kekurangan pada pembayaran gaji bulanan kami yang sangat dipengaruhi oleh jumlah kunjungan tamu yang datang untuk menginap di sini. Dan aku adalah salah satu dari orang yang bertahan itu. Tetapi untungnya walau bagaimanapun media membicarakan tentang hotel ini sedemikian rupa, manajemen di sini tidak menyerah untuk bisa bertahan dan terus memberikan servis yang terbaik yang bisa diberikan. Hingga akhirnya pendapatan kami saat ini bisa kembali stabil, dan tamu yang datang pun kembali seperti pada masa puncak kejayaannya. 

Hotel tempatku bekerja ini berada di sebelah selatan ibu kota Jakarta, gedungnya menjulang tinggi sejajar dengan gedung-gedung lain yang berbaris rapi di pinggir jalan, seakan sedang menyambut tamu kehormatan yang beralaskan aspal panas sebagai karpet merahnya, berbaris rapi menggiring para kuda besi melintasi jalan Jenderal Sudirman yang selalu padat. Hotel Grand Jakarta adalah salah satu hotel berbintang lima yang dicap sebagai salah satu hotel termewah yang berada di kawasan ibu kota. Sepertinya tidak perlu kujabarkan lebih jauh lagi tentang definisi mewah itu, karena semua hal tentang kemewahan yang bisa dipikirkan oleh pikiran seseorang, akan bisa kau dapati di hotel ini. Semuanya! Dan sebagai petugas pelayanan kamar, sudah menjadi salah satu tugasku untuk bisa memberikan itu semua kepada tamu yang ada di hotel ini.

Ini adalah hari ketiga aku bekerja pada sif malam, dan sebelumnya aku belum pernah mendapatkan kesempatan untuk bisa mencoba bekerja pada sif malam ini. Dari mulai tempat ini ramai pengunjung seperti pada hari biasa, hingga tempat ini sepi pengunjung karena adanya kasus bunuh diri itu, hingga tempat ini kembali ramai lagi, baru kali ini akhirnya aku bisa mendapatkan bagian sif malam ini. Sulit untuk beradaptasi pada awalnya, karena semua serba terbalik. Yang biasanya aku menggunakan waktuku untuk beraktivitas, kini harus dijadikan waktu untuk beristirahat. Begitu pun sebaliknya, waktu yang biasanya kugunakan untuk beristirahat, kini harus digunakan untuk bekerja. Bahkan pada hari pertama kemarin pun aku sempat merasa lebih lelah dari biasanya karena belum pernah merasakan pengalaman yang seperti itu sebelumnya. Tapi saat ini, kukira aku sudah mulai bisa mengimbanginya.

Seperti pada dua malam sebelumnya, malam ini begitu tenang dan sunyi, tidak terlalu banyak permintaan dari tamu hotel yang datang. Ya, karena memang pada dasarnya hotel ini termasuk ke dalam kategori hotel bisnis, jadi kebanyakan yang datang berkunjung pada hari kerja adalah mereka yang memang sedang melakukan kegiatan bisnis. Dengan kata lain, waktu istirahat mereka pun akan normal seperti pada kebanyakan orang. Lain halnya pada saat akhir pekan, atau hari-hari libur lainnya, banyak dari mereka yang menginap di sini membawa keluarga, kerabat atau pasangan mereka, jadi terkadang pada jam-jam seperti ini pun akan masih ada pesanan macam-macam dari mereka. Entah itu untuk memesan makanan, minuman, atau membersihkan kamar mereka, macam-macam! Tapi untungnya ini masih hari kamis---masih terhitung sebagai hari kerja---jadi tidak banyak pesanan yang macam-macam yang diminta oleh para tamu. Bahkan untuk petugas yang berjaga, tidak lebih dari lima orang saja.

Jam sudah menunjukkan pukul 23:57 Waktu Indonesia bagian Barat, dan kedua mataku masih segar seperti lampu jalanan yang menyoroti jalanan kosong dengan segenap kekuatannya. Karena memang baru saja aku menghabiskan kopi keduaku malam ini. Ya, akan kulakukan apa saja agar tetap menjaga kedua mataku ini agar tidak kalah oleh serangan kantuk yang datang dengan begitu dahsyatnya. Sambil mulutku mengunyah permen yang diberikan oleh pengunjung dari kamar nomor 1718 setelah dia memesan satu botol sampanye, aku membawa troli untuk kembali menuju ke pantri. Dia adalah Mr. Jaeger, seorang berkebangsaan Amerika Serikat yang sedang melakukan perjalanan bisnisnya di kota ini. Dia cukup ramah, bahkan tidak sedikit dirinya memberikan tip yang lumayan besar saat aku memberikan pelayanan kepada dirinya. Dan untuk malam ini, dia kembali memberikan sejumlah uang tip sebesar lima dolar dalam bentuk koin sen dan beberapa permen kopi yang dibawanya langsung dari Amerika. Dia bilang permen ini cukup manjur untuk melawan kantuk, dan ya, memang inilah yang kubutuhkan saat ini.

Sambil menunggu lift yang sedang berjalan naik ke lantai tujuh belas tempatku berada saat ini, aku mengambil sebuah koran yang tergeletak di atas sebuah troli dari salah satu petugas kebersihan yang sepertinya sedang membersihkan salah satu kamar tamu. Koran ini masih baru, karena tanggal dan hari terbitnya menunjukkan terbit pada hari Jumat. Aku mengambilnya dan membaca salah satu tajuk utama dari koran tersebut yang ditulis dengan huruf kapital yang besar. Tajuk utama itu berbunyi . . .

KEMBALI, SEORANG PEGAWAI HOTEL DITEMUKAN TEWAS BUNUH DIRI . . .

Belum sempat aku membaca keseluruhan berita itu, pintu lift yang sedari tadi kutunggu akhirnya terbuka dan mengalihkan pandanganku ke arahnya. Kulipat kembali koran yang berada di genggamanku, kemudian kudorong troli milikku dan segera masuk ke dalam lift yang sudah terbuka itu. Aku menekan tombol lantai UG (Upper Ground), pada tombol lift sebagai tujuanku, karena pada lantai itulah letak dapur, penatu, dan semua yang menyokong keberlangsungan dari hotel ini melakukan kegiatannya.

Pintu lift mulai menutup dengan perlahan, dan kembali kubuka koran yang kulipat pada genggamanku tadi. Namun belum sempat aku membuka sepenuhnya halaman koran itu, lampu yang menerangi bilik lift ini berkedip dengan tidak menentu. Awalnya hanya sesaat, namun kemudian kedipan itu semakin cepat. Juga, lift bergetar dengan cukup hebat seiring dengan kedipan pada lampu tersebut semakin cepat, seakan seperti ada gempa bumi atau semacamnya.

Oh, tidak, apa yang terjadi ini, gumamku. Aku harus segera keluar dari sini.

Kutekan tombol lantai terdekat, agar lift terbuka pada lantai tersebut. Namun itu percuma. Lift itu terus meluncur ke bawah dengan getaran yang semakin dahsyat.

Tujuh belas . . .

Enam belas . . .

Lima belas . . .

Empat belas . . .

Tiga belas . . .

Getaran dan kedipan pada lift itu terhenti seiringan dengan berhentinya lift. Akhirnya, gumamku dalam hati. Aku sedikit bernafas lega saat lift itu terhenti, namun aku menyadari ada sebuah kejanggalan yang terjadi. Yaitu, layar penunjuk lantai yang berada tepat di atas pintu lift menunjukkan angka tiga belas. Aneh! Padahal tidak ada lantai tiga belas di gedung ini. Dan tombol untuk menekan tombol lantai pun dibuat dengan urutan 12A dan 12B, tidak ada lantai tiga belas! Hingga akhirnya aku hanya bisa terdiam, dan pandanganku terpaku pada layar penunjuk lantai yang memperlihatkan angka tiga belas itu.

Gedung ini tidak memiliki lantai tiga belas, apa-apaan ini?! gumamku dalam hati.

Aku menekan semua tombol pada lift, namun tidak ada yang bereaksi. Secara mengejutkan pintu lift tiba-tiba terbuka. Pintu lift terbuka pada sebuah lantai yang sebenarnya tidak ada pada gedung ini. Ini gila! Apa ini sebuah lelucon atau apa?!

Jantungku yang bereaksi dengan kejadian ini pun berdegup dengan sangat cepat. Aku tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Jemariku masih mencoba menekan semua tombol yang tertera, namun tidak satupun dari semua itu yang bereaksi. Tombol untuk menutup pintu pun tidak menunjukkan reaksi sama sekali. Aku beralih dari tombol-tombol itu dan mencoba meraih ponsel dari sakuku, namun aku terhenti ketika pintu lift sudah sepenuhnya terbuka. Memperlihatkan sebuah lantai yang belum pernah kulihat sebelumnya!

Awalnya temaram, namun semakin lama pemandangan yang berada di sana semakin jelas terlihat. Aku tidak yakin dengan apa yang kulihat ini, mungkin aku yang berhalusinasi atau apa, tetapi, hampir semua yang berada di ruangan tersebut berwarna merah. Semerah darah! Dindingnya, lantainya, bahkan langit-langitnya, semua berwarna semerah darah. Jantungku semakin cepat berdetak ketika secara tiba-tiba seorang wanita muncul menampakkan diri dari kejauhan.

Dia memakai pakaian berwarna putih hingga menutupi lututnya dan tidak memakai alas kaki. Juga kulitnya sangat pucat, dan rambut panjangnya terurai hingga menutupi wajahnya, serta banyak bekas luka yang terlihat pada lengan dan kakinya. Dirinya terlihat begitu kontras dari pemandangan yang berada di sekelilingnya. Membuat semua indera yang kumiliki mati rasa! Dan yang membuat diriku semakin terperanjat adalah, secara perlahan dirinya mulai bergerak. Menghampiriku!

Dengan panik aku kembali menekan semua tombol yang ada secara berulang-ulang. Namun semakin lama aku menekan tombol-tombol itu, semakin mendekat juga sosok yang menyeramkan itu. Hingga akhirnya dalam beberapa detik, dirinya sudah tepat berada di depan pintu lift. Aku tidak memiliki keberanian untuk menatapnya, dan pandanganku hanya bisa kuarahkan kepada tombol-tombol lift yang masih belum bereaksi. Tetapi dapat kurasakan dia sedang menatapku, hingga akhirnya dirinya masuk ke dalam lift, dan berdiri tepat di belakangku!

Secara mengejutkan pintu lift kembali menutup.

Aku terlalu takut untuk menoleh ke belakang, jadi yang kulakukan hanyalah menekan semua tombol pada lift secara berulang-ulang dengan panik.

Lift kembali meluncur ke bawah dengan cepatnya.

Lima . . .

Empat . . .

Tiga . . .

Dua . . .

Akhirnya, gumamku.

Pintu lift terbuka, dan dengan cekatan aku langsung bergegas untuk ....

Apa-apaan ini?!

Kembali sebuah ruangan merah yang nampak di depanku. Aku sangat yakin bahwa lift ini sudah turun ke lantai. . . .

Tiga belas?!

Aku terkesiap. Tubuhku seakan mematung. Aku tidak percaya dengan apa yang terjadi saat ini. Aku pun menekan tombol lift dengan tangan yang bergetar. Lift kembali menutup dan segera meluncur ke bawah.

Lima . . .

Empat . . .

Tiga . . .

Dua . . .

Pintu lift terbuka.

Tetapi aku kembali ke ruangan merah itu! Aku kembali menekan tombol-tombol lift dan pintu lift kembali menutup. Aku mencoba mengambil ponselku namun tidak ada sinyal sama sekali. Tidak ada yang bisa kuperbuat, dan aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan.

Pintu lift kembali terbuka, dan ruangan itu masih ada di sana! Dan bisa kurasakan wanita itu mulai mendekatkan dirinya ke arahku setiap detiknya. Bahkan saat ini aku mulai bisa mendengar nafasnya yang berderu.

Secara mengejutkan tangannya yang dingin menepuk pundakku, itu membuat jantungku seakan berhenti berdetak! Jari-jarinya mungil namun sangat pucat. Aku menoleh sedikit untuk melihatnya. Dia kini tepat berada di sebelahku. Rambutnya masih menutupi setengah wajahnya, dan yang bisa kulihat hanya sebelah matanya. Matanya itu, menatapku dengan tatapan bengis yang membuat diriku hanya bisa mematung tak bergeming. Tetapi yang membuat diriku bergidik bukan dari tatapannya yang bengis itu, melainkan dari warna mata yang dimilikinya. Warna mata dari sosok itu berwarna senada dengan ruangan merah itu! Aku mematung, tidak dapat menggerakkan tubuhku sedikit pun. Keringatku mulai bercucuran dari dahiku dan meluncur dengan deras ke seluruh wajahku.

"Selamat datang," bisiknya dengan suara pelan menyeramkan sambil memegang tanganku yang gemetaran.

Tangan pucatnya terangkat seakan memandu tanganku yang masih memegang selebaran koran yang kubawa tadi. Koran tersebut terbuka, menampilkan tajuk utama dari berita yang belum sempat kubaca seutuhnya. Namun dengan seketika tubuhku menjadi mati rasa, dalam sekejap seolah berubah menjadi sedingin es dan mematung tak bisa digerakkan setelah membaca keseluruhan dari tajuk utama pada koran tersebut. . .

KEMBALI, SEORANG PEGAWAI HOTEL DITEMUKAN TEWAS BUNUH DIRI SETELAH MELOMPAT DARI LANTAI TUJUH BELAS . . .

 

Lengkap dengan foto wajahku pada artikel tersebut.

Sekali lagi sosok wanita itu berbisik pelan kepadaku, "SELAMAT DATANG, DI LANTAI TIGA BELAS."

***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun