Mohon tunggu...
Muhammad Darojatun Wicaksono
Muhammad Darojatun Wicaksono Mohon Tunggu... Mahasiswa - S1 Manajemen Universitas Airlangga

Interested in high tech machine, politics and global economics

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Alam & Tekno

Apakah Elektrifikasi Kendaraan Bermotor Signifikan Mengurangi Emisi Karbon Dioksida?

9 Juni 2022   05:00 Diperbarui: 9 Juni 2022   05:17 530
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Emisi gas karbon dioksida (CO2) di atmosfer sejak tahun 1960 hingga 2020 terus mengalami kenaikan. Kadar gas tersebut pada tahun 2020 telah mencapai 412,5 bagian per juta (PPM) (National Oceanic and Atmospheric Administration, 2020). Tingginya konsentrasi gas CO2 di atmosfer bumi dapat berdampak pada pemanasan global. 

Meningkatnya suhu bumi secara terus menerus dapat menyebabkan kehidupan di bumi terancam punah karena suhu yang terlalu tinggi menyebabkan mayoritas makhluk hidup tidak dapat hidup dengan normal. Bahan bakar fosil dan kegiatan industri merupakan penyumbang emisi gas rumah kaca terbesar di bumi saat ini. 

Gabungan kedua sektor tersebut menyumbang emisi gas rumah kaca berupa gas karbon dioksida sebanyak 65% (United States Environmental Protection Agency, 2022). 

Elektrifikasi kendaraan bermotor dengan menggunakan sistem hybrid yang berupa perpaduan antara mesin internal combustion dengan motor listrik maupun battery electric vehicle yang berupa penggunaan motor listrik secara keseluruhan dalam suatu kendaraan yang ditenagai baterai merupakan salah satu solusi untuk mengurangi penggunaan bahan bakar fosil. 

Berkurangnya penggunaan bahan bakar fosil di sektor transportasi diharapkan secara beriringan akan menurunkan emisi gas karbon dioksida di atmosfer dan mengurangi tingkat pemanasan global. Namun, apakah solusi elektrifikasi ini dapat memberikan dampak yang signifikan?

Saat ini mayoritas masyarakat di Indonesia masih menggunakan kendaraan konvensional, baik menggunakan bahan bakar bensin maupun solar. Hal ini terlihat pada jumlah kendaraan bermotor berdasarkan data kepolisian daerah hingga Januari 2022 sebanyak 146.046.066 unit (Katadata, 2022). 

Namun, jumlah kendaraan listrik yang tercatat oleh kementerian perhubungan hingga Maret 2022 hanya sebanyak 16.060 unit (Kompas.com, 2022). Data tersebut menunjukkan bahwa 99% kendaraan di Indonesia pada tahun 2022 masih menggunakan bahan bakar fosil. 

Sebuah mobil dengan mesin konvensional (internal combustion engine) memiliki emisi gas CO2 sebesar 125 g/km. Sedangkan sebuah Mobil dengan penggerak motor listrik hanya menghasilkan emisi gas CO2 sebesar 0-5 g/km (Katadata, 2021). 

Jika menggunakan data jumlah kendaraan pada tahun 2022, maka emisi karbon dioksida yang dihasilkan kendaraan di Indonesia dapat mencapai sekitar 18 miliar gram per kilometernya. Sebaliknya, jika mayoritas mobil ditenagai energi listrik, maka, hanya akan menghasilkan emisi sekitar 0,73 miliar gram per kilometernya. 

Jika dianalogikan dengan benda di kehidupan sehari-hari, dengan menggunakan mobil konvensional di setiap kilometernya kita menghasilkan emisi setara dengan sekitar 243 juta bungkus mi instan*. Namun, apabila kita menggunakan kendaraan listrik, emisi yang dihasilkan hanya sekitar 9 juta bungkus saja.

Penggunaan kendaraan listrik secara massal di Indonesia sebagai sarana untuk mengurangi emisi gas karbon dioksida tidak akan efektif apabila sumber energi yang digunakan untuk mengisi baterai mobil tersebut masih berasal dari pembangkit listrik tenaga fosil. 

Berdasarkan data badan pusat statistik, pada tahun 2020, 50,46% kapasitas terpasang pada PLN dipasok dari PLTU (Pembangkit Listrik Tenaga Uap). Uap yang digunakan untuk menggerakkan generator listrik pada unit PLTU dipanaskan oleh panas pembakaran batu bara (Badan Pusat Statistik, 2021). 

Berdasarkan data PLTU dengan kapasitas 400 MWe yang dipantau oleh Rukijatmo & Munawir Z. pada tahun 2002 di PLTU Suralaya, apabila pembangkit tersebut telah menggunakan teknologi irradiasi elektron (MBE), emisi gas CO2 yang dihasilkan per tahunnya sebanyak 423.233 ton/tahun (Rukijatmo & Z, 2003; Isaris, 2007). 

Secara keseluruhan, kapasitas terpasang pada PLN 87,72% berasal dari pembangkit energi fosil dan 12,28% berasal dari energi baru terbarukan (Badan Pusat Statistik, 2021). 

Keadaan ini penting untuk diperhatikan karena jika kita hanya berfokus pada elektrifikasi kendaraan bermotor saja tanpa merubah sumber energi yang digunakan pada pembangkit-pembangkit listrik yang ada di Indonesia menjadi sumber energi hijau, maka solusi elektrifikasi kendaraan bermotor hanya akan menyebabkan perpindahan emisi dari kendaraan bermotor menuju pembangkit listrik. 

Perlu adanya kesadaran dari seluruh pihak yang berwenang agar tidak hanya mempertimbangkan aspek ekonomis dalam produksi energi listrik, namun, aspek lingkungannya juga harus diperhatikan dengan serius.

Perubahan dari kendaraan konvensional menjadi kendaraan listrik tidak selalu bisa diterima masyarakat umum. Adanya perbedaan harga yang tinggi antara harga jual kendaraan konvensional dengan kendaraan listrik masih menciptakan hambatan yang besar untuk dapat membeli kendaraan ramah lingkungan tersebut. 

Padahal harga pembelian kendaraan listrik yang relatif lebih tinggi dibandingkan kendaraan konvensional akan terlihat lebih murah apabila dibandingkan harga jual mobil konvensional beserta biaya operasional setiap tahunnya. Mobil konvensional memiliki harga jual yang lebih rendah, namun, 

biaya operasional seperti pembelian BBM dan perawatan rutin yang dikonsumsi tidak bisa dianggap murah. Hal ini ditambah dengan kecenderungan harga BBM untuk naik setiap tahunnya. 

Kendaraan listrik untuk mengakuisisinya memang membutuhkan biaya yang lebih besar di awal. Namun, kendaraan ini memiliki biaya operasional yang lebih rendah, karena harga listrik per KWH yang lebih murah dibandingkan harga BBM per liter dan memerlukan perawatan rutin yang minim. 

Apabila 2 jenis kendaraan tersebut disandingkan untuk menempuh jarak dan waktu tempuh yang sama, untuk setiap kilometernya biaya bahan bakar yang perlu dikeluarkan mobil konvensional yaitu sebesar Rp1.250**, sedangkan mobil listrik hanya Rp340***. 

Adanya perbedaan biaya yang dikeluarkan saat operasional inilah yang seharusnya banyak digaungkan agar masyarakat mau beralih ke kendaraan listrik. Selanjutnya untuk kendaraan-kendaraan yang ramah lingkungan sebaiknya diberikan keringanan pajak dan biaya administrasi lainnya agar membuat harga jualnya mendekati harga jual kendaraan konvensional. 

Selain itu, pembiasaan di masyarakat untuk menggunakan kendaraan ramah lingkungan juga dapat diberikan melalui suguhan hiburan yang ditenagai dari energi hijau, seperti balap mobil listrik yang baru saja diselenggarakan di Jakarta yaitu Formula E. 

Menonton ajang balap kendaraan listrik dengan kendaraan konvensional tentu memiliki perbedaan. Mulai dari sensasi mendengar deru mesinnya, kecepatan pergerakan kendaraan balap, dan lain-lain. Namun justru apabila inilah yang harus disuguhkan agar lama kelamaan masyarakat dapat terbiasa dengan sebuah kendaraan modern yang ramah lingkungan.

Upaya untuk mengurangi pemanasan global akibat tingginya konsentrasi gas CO2 di atmosfer merupakan suatu hal yang penting. Hal ini karena keberlangsungan kehidupan di bumi memerlukan kondisi lingkungan termasuk suhu yang stabil. Bahan bakar fosil dan kegiatan industri merupakan penyumbang emisi gas rumah kaca terbesar di bumi saat ini. 

Gabungan kedua sektor tersebut menyumbang emisi gas rumah kaca berupa gas karbon dioksida sebanyak 65% (United States Environmental Protection Agency, 2022). Oleh karena itu, elektrifikasi kendaraan bermotor merupakan salah satu solusi yang mampu memberikan dampak yang besar. 

Namun, elektrifikasi kendaraan bermotor tersebut tidak akan dapat memberikan dampak yang signifikan apabila sumber energi yang digunakan untuk mengisi daya baterai kendaraan listrik masih diperoleh dari pembangkit-pembangkit berenergi fosil. 

Apabila mayoritas pembangkit tersebut masih menggunakan energi fosil, maka, solusi elektrifikasi kendaraan bermotor hanya akan menyebabkan perpindahan sumber emisi dari kendaraan konvensional menuju pembangkit listrik tersebut. 

Perlu adanya kesadaran dari seluruh pihak yang berwenang agar tidak hanya mempertimbangkan aspek ekonomis dalam produksi energi listrik, namun, aspek lingkungannya juga harus diperhatikan dengan serius. Hambatan dalam proses elektrifikasi kendaraan bermotor salah satunya adalah tingginya biaya akuisisi sebuah kendaraan listrik. 

Perlu adanya sosialisasi dan pemberian insentif dari pemerintah agar masyarakat dapat lebih mudah untuk mengakses kendaraan yang ramah lingkungan. Upaya pembiasaan yang dapat dilakukan di masyarakat agar terbiasa dengan kendaraan yang ramah lingkungan yaitu melalui suguhan hiburan yang ditenagai dari energi hijau, seperti balap mobil listrik. 

Dengan adanya hiburan semacam ini lama-kelamaan masyarakat dapat terbiasa dengan sebuah kendaraan modern yang ramah lingkungan. 

Upaya untuk mengurangi pemanasan global yang disebabkan oleh emisi gas CO2 tidak dapat dilakukan dengan hanya melalui 1 sisi saja. Upaya pemanfaatan energi hijau harus diterapkan dari hulu ke hilir agar dapat menghasilkan dampak yang signifikan.

*Asumsi 1 kemasan mi instan memiliki berat bersih 75 gram
**Menggunakan harga BBM Pertamax Rp12.500/liter dan rata rata konsumsi BBM 10 km/liter
***Menggunakan harga listrik Rp1.700/KWH dan rata rata konsumsi listrik 5 km/KWH

DAFTAR PUSTAKA

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Lihat Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun