Mohon tunggu...
Muhammad Darojatun Wicaksono
Muhammad Darojatun Wicaksono Mohon Tunggu... Mahasiswa - S1 Manajemen Universitas Airlangga

Interested in high tech machine, politics and global economics

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Alam & Tekno

Apakah Elektrifikasi Kendaraan Bermotor Signifikan Mengurangi Emisi Karbon Dioksida?

9 Juni 2022   05:00 Diperbarui: 9 Juni 2022   05:17 530
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Berdasarkan data badan pusat statistik, pada tahun 2020, 50,46% kapasitas terpasang pada PLN dipasok dari PLTU (Pembangkit Listrik Tenaga Uap). Uap yang digunakan untuk menggerakkan generator listrik pada unit PLTU dipanaskan oleh panas pembakaran batu bara (Badan Pusat Statistik, 2021). 

Berdasarkan data PLTU dengan kapasitas 400 MWe yang dipantau oleh Rukijatmo & Munawir Z. pada tahun 2002 di PLTU Suralaya, apabila pembangkit tersebut telah menggunakan teknologi irradiasi elektron (MBE), emisi gas CO2 yang dihasilkan per tahunnya sebanyak 423.233 ton/tahun (Rukijatmo & Z, 2003; Isaris, 2007). 

Secara keseluruhan, kapasitas terpasang pada PLN 87,72% berasal dari pembangkit energi fosil dan 12,28% berasal dari energi baru terbarukan (Badan Pusat Statistik, 2021). 

Keadaan ini penting untuk diperhatikan karena jika kita hanya berfokus pada elektrifikasi kendaraan bermotor saja tanpa merubah sumber energi yang digunakan pada pembangkit-pembangkit listrik yang ada di Indonesia menjadi sumber energi hijau, maka solusi elektrifikasi kendaraan bermotor hanya akan menyebabkan perpindahan emisi dari kendaraan bermotor menuju pembangkit listrik. 

Perlu adanya kesadaran dari seluruh pihak yang berwenang agar tidak hanya mempertimbangkan aspek ekonomis dalam produksi energi listrik, namun, aspek lingkungannya juga harus diperhatikan dengan serius.

Perubahan dari kendaraan konvensional menjadi kendaraan listrik tidak selalu bisa diterima masyarakat umum. Adanya perbedaan harga yang tinggi antara harga jual kendaraan konvensional dengan kendaraan listrik masih menciptakan hambatan yang besar untuk dapat membeli kendaraan ramah lingkungan tersebut. 

Padahal harga pembelian kendaraan listrik yang relatif lebih tinggi dibandingkan kendaraan konvensional akan terlihat lebih murah apabila dibandingkan harga jual mobil konvensional beserta biaya operasional setiap tahunnya. Mobil konvensional memiliki harga jual yang lebih rendah, namun, 

biaya operasional seperti pembelian BBM dan perawatan rutin yang dikonsumsi tidak bisa dianggap murah. Hal ini ditambah dengan kecenderungan harga BBM untuk naik setiap tahunnya. 

Kendaraan listrik untuk mengakuisisinya memang membutuhkan biaya yang lebih besar di awal. Namun, kendaraan ini memiliki biaya operasional yang lebih rendah, karena harga listrik per KWH yang lebih murah dibandingkan harga BBM per liter dan memerlukan perawatan rutin yang minim. 

Apabila 2 jenis kendaraan tersebut disandingkan untuk menempuh jarak dan waktu tempuh yang sama, untuk setiap kilometernya biaya bahan bakar yang perlu dikeluarkan mobil konvensional yaitu sebesar Rp1.250**, sedangkan mobil listrik hanya Rp340***. 

Adanya perbedaan biaya yang dikeluarkan saat operasional inilah yang seharusnya banyak digaungkan agar masyarakat mau beralih ke kendaraan listrik. Selanjutnya untuk kendaraan-kendaraan yang ramah lingkungan sebaiknya diberikan keringanan pajak dan biaya administrasi lainnya agar membuat harga jualnya mendekati harga jual kendaraan konvensional. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Lihat Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun