Hening. Si tua berjenggot memiringkan kepala dan terkekeh. Tak lama tawanya semakin keras dan terbahak-bahak, membuat dahaknya terkocok-kocok di kerongkongan. Rombongan pawai itu tergelitik perutnya dan ikut tertawa ngakak.
“Selain ahli mengocok botol berisi demit, kau ahli mengocok perut orang rupanya,” ucap pemuda disebelahnya, membuat rombongan semakin heboh tertawa sampai mereka harus menurunkan obor, mengelap air mata yang penuh gelak. Tak tersinggung, Ma Inyong ikutan ngakak kurang ajar, membuat si lelaki tua dan rombongannya berhenti tertawa.
Merasa kikuk, Ma Inyong berusaha memecah suasana, “Sayang sekali kalian datang kemari hanya untuk mengolok-ngolokku dan bukannya ikutan berpesta, padahal akulah pemegang rahasia hari kiamat itu. Tahu begitu, lebih baik aku tak membocorkannya dan membiarkan kalian mati terhimpit langit roboh sebelum kalian sempat bertobat.” Sayangnya, itu tidak lucu. Sama sekali tidak.
Namun, ada jawaban yang tak terduga malam itu. “Ya, justru karena itu, Ma Inyong. Malam ini kami datang untuk berpesta.” Si lelaki tua bicara dengan nada yang bersahabat, tak hanya membuat Ma Inyong tersedak, tapi juga seluruh rombongan. Kali ini ia benar-benar ngawur. Sampai akhirnya seseorang menyadari dan perlahan otak mereka nyambung. Mereka baru mengerti maksud lelucon si sesepuh baru ini. Salah seorang tersedak, mereka kembali terkekeh dan heboh.
“Oh ya, benar! Tentu saja kami juga ingin berpesta, Ma Inyong!"
Ma Inyong menyadari, bahwa sedari tadi tangan kanan mereka bersembunyi di punggung. Mata Ma Inyong jeli menangkap. Mereka tidak hanya membawa obor, tapi juga parang, celurit, cangkul, batu runcing besar, apapun yang sekiranya bisa untuk mencincang-cincang daging atau menggeprek kepala orang.
Salah. Rupanya malaikat yang berbisik itu ngawur total. Langit tidak runtuh malam itu, tapi itulah malam terakhir Ma Inyong melihat langit. Terkepung sudah Ma Inyong oleh rombongan pawai dengan obor yang diangkat tinggi-tinggi dan parang teracung. Detik-detik sebelum tubuhnya mewujud bubur ngawur, Ma Inyong mendapat pencerahan dan terkekeh.
“Ah, sekarang kau paham, kan, Pacet? Mengapa Tuhan membiarkan para bajingan tetap hidup?” Ia melirik adiknya.
Pa Pacet tak lagi menganga horor, air matanya sudah jatuh tak tergenang. Ia yang sedari tadi diam membeku akhirnya berani menyimpulkan, sebelum ia berakhir rubuh dan tidak pernah kembali bangun.
Malam itu, langit telah runtuh menimpa para bajingan. Dan dunia dengan sendirinya telah melahirkan Adam dan hawa yang baru. Di dunia itu, bisikan Pa Pacet teruntuk Ma Inyong senantiasa menggema, meniup ruh pada calon-calon bajingan yang baru.
“Supaya orang-orang suci punya jalan tuk berjihad.”
“Supaya orang-orang suci punya jalan tuk berjihad.”