Sebelum Pa Pacet bercemooh ria, Ma Inyong cepat-cepat menyerbu nafas, “Kita harus berpesta malam ini.” Ia menunjuk-nunjuk kubah masjid kampung, mengisyatkan takkan ada azan maupun radio dengan lengkingan memekak yang membuat kelelawar masuk kembali ke dalam mulut gua. “Tak payah khawatir mereka merusak kekhidmatan pesta,” begitulah kira-kira maksudnya.
Tapi si adik tolol lain menafsirkan. “Rombongan pawai itu membawa kabur toa surau. Boleh jadi mereka menyerukan azan dan lantunan ayat suci sambil menaiki bukit dan pergi ke atas sini. Bagaimana pun kau tahu kan, mereka akan menyerukan nama Tuhan sampai malam benar-benar kiamat. ” Di akhir kalimat, ia tiba-tiba tersedak dan meludah. Hitam.
“Muncungmu memanglah tak lain dari perwujudan ketololan yang hakiki.” Ma Inyong akhirnya berkomentar juga.
Kelak ia meninggalkan Pa Pacet yang mendadak sempoyongan, berjalan masuk ke ruang tengah dan memutar asal tombol siaran. Radio itu lantas buka mulut dan mengalunkan sebuah irama yang tak asing di kuping mereka.
Di tepi jalan si miskin menjerit,
Hidup meminta dan menerima.
Yang kaya tertawa berpesta pora,
Hidup menumpang di kecurangan.
Arwah The Black Brothers mengisi langit-langit rumah. Ma Inyong tersedak ketika menyadari Pa Pacet ikut berdiri mengiringinya yang hanyut dalam dendangan. Kesambet apa, padahal tadi ia banyak bacot, pikir Ma Inyong.
Mereka mulai berjoget-joget cantik. Si adik mengambil tangan si kakak dan menempatkannya di dada. Aduhai, elok sekali mereka berdansa. Perjaka dan perawan tua itu kini melakoni Tristan und Isolde, menggoda satu sama lain dalam penuturan Jerman (kalau saja ocehan ngawur mereka itu bisa disebut bahasa Jerman).
Sadarlah kau… cara hidupmu,
Yang hanya menelan korban yang lain.
Bintang jatuh hari kiamat,
Pengadilan yang penghabisan.
Tangan Tristan melingkar di pinggang Isolde, tapi perlahan jari-jarinya turun ke bawah. Mendadak ia meremas bokong Isolde. Perempuan yang merasa harga dirinya dirampas, lantas menonjok Tristan tanpa ampun. Tristan menangis cengeng lepas menengok Isoldenya terkena kutukan mengerikan, membuat dirinya berubah menjadi nenek tua berbadan gempal.
“Tai! Kau bahkan sudah mabuk sebelum aku selesai merebus biji pala!” Ma Inyong pun ngibrit ke dapur. Ia menjenguk sekuali besar rebusan biji pala. Tak lama ia kembali ke beranda, membawa dua batok kelapa berisi rebusan biji pala itu.
Pa Pacet tampak ragu-ragu mengecap. “Teguk sedikit takkan membuat kau tewas di tempat, Pacet.” Ma Inyong santai duluan menyeruput.