Mohon tunggu...
Dali Budaya
Dali Budaya Mohon Tunggu... Lainnya - Serangting ringkih tak benalu

Bocah ngawur dengan tulisan babak belur

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Pesta Orang-Orang Suci

2 Januari 2025   12:24 Diperbarui: 2 Januari 2025   16:26 246
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: dokumen pribadi

“Aku tak mau lupa diri di kala langit akan roboh. Mati dihimpit langit lebih dahsyat daripada tewas pasal mabuk biji pala. Dan, kau tahu aku suka yang gempar-gempar. Butuh kewarasan tuk menyaksikannya sendiri, Ma Inyong.” 

Yang disebut hanya mengaduh ringan, tak masalah dia mesti menenggak segentong rebusan biji pala dalam semalam. Sebetulnya, Ma Inyong setengah menaruh syak sebab si adik tampaknya benar-benar telah mabuk, tapi bukan lantaran biji pala. Guna membuat suasana lebih santai, ia melingsir kembali ke ruang tengah, memutar tombol siaran ke kanan ke kiri supaya berganti musik yang lebih asyik. Persetan romansa, Isolde tak sudi bokongnya kena remas lagi. 

Suara Hengky Black Brothers bertukar bising house music. Mendadak lampu teplok di beranda menjelma bola-bola lampu dengan kilau menusuk kornea secara sadis. Lantai kayu lapuk berganti ubin lincin yang bisa membuat orang tergelincir dan berdebum, tewas seketika. Ini bukan lagi rumah tua di tepi jurang, melainkan tempat berajojing malam. 

Ma Inyong (sekarang namanya Ko Indro) menghampiri Pa Pacet dan menyodorkan tuak (kau tahu itu adalah rebusan biji pala tadi). "Bersantailah sedikit." Ko Indro meyakinkan layaknya pria matang. Kemeja sutra ketat, ikat pinggang kulit, dan celana cutbray melekat sempurna di tubuhnya yang paripurna. Ia mengalungkan lengannya di pundak Pa Pacet, membuat punggungnya yang bungkuk kian membusur. Ko Indro menyodokkan muncung gelas ke congor si lelaki tua. Beliau spontan menyembur tuak itu, menolak untuk mabuk. Tapi, agaknya Pa Pacet memang sudah mabuk jauh-jauh hari – boleh jadi terlanjur sinting. Tengoklah, sekarang binatang mesum itu menatap Ko Indro penuh birahi. 

Beruntung, ia mampu membaca pikiran Pa Pacet sebelum ia kena sosor. Lelaki cina berperawakan gagah itu kini melengking persis Isolde dan menendangnya tepat di biji pelir. Binatang cabul langsung terkulai lesu dan menjerit tak kalah lengkingnya dari perempuan mana pun. Pekikannya kawin betul dengan suara gemuruh menyalak. Sedangkan pelaku hengkang dari tempat kejadian perkara menuju ruang tengah: menghabisi nyawa radio malang dengan membanting badannya ke sudut meja. Tak ada lagi rumah hiburan malam: house music, bola-bola lampu, maupun ubin licin sialan. 

Ma Inyong kembali menguasai tubuhnya, “Entahlah kau sakau karena cimeng jenis apa. Yang jelas, anjing mesum lebih mengerikan daripada anjing tolol!”

Saat itulah terdengar suara takbir. Bunyi derap langkah orang ramai berbaur keributan. Pa Pacet langsung berdiri tegak, terlupakan rasa ngilu luar biasa hebat dari biji pelirnya yang pecah. Ia menatap Ma Inyong horor.

“Mereka jelas tidak berniat kemari. Untuk apa orang suci bertamu ke rumah dukun kafir," ucap Ma Inyong.

"Tidak. Kurasa mereka memang berniat kemari," Pa Pacet tegang setegang anjing bertemu malaikat maut.

"Oh, kalau begitu, jelas mereka ingin ikut berpesta!" 

Ma Inyong bergeser ke dapur, “Tak kuduga orang suci punya selera hiburan yang bagus. Di malam kiamat begini, kupikir mereka akan meringkuk di rumah Tuhan.” 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun