“Langit akan runtuh malam ini,” ucap Ma Inyong.
“Ngawur,” Pa Pacet, sembari mengunyah sesuatu, menjawab sembrono.
Ma Inyong bisu mendadak — lebih tepatnya malas menanggapi orang tolol.
Perempuan berumur satu setengah abad itu tidak keliru. Malaikat sendiri yang berbisik padanya, "Esok malam, kau tak lagi bisa menengok langit." Ma Inyong lantas menyimpulkan bahwa kiamat telah tiba. Pagi itu, ia mengatakan hal yang sama ke pedagang cabai, dalam ledakan tawa yang kurang ajar, membuat semua orang di situ berlari kocar-kacir dan melolong heboh. Siapa pula yang tak takut kiamat? Dan siapa pulalah yang tak percaya dengan sesepuh satu ini?
Selain perihal umur, orang-orang menghormatinya lebih karena perannya sebagai dukun beranak. Ia telah berurusan dengan semua selangkangan ibu-ibu kampung. Tak pernah ada orok yang mati di tangannya. Itulah mengapa ia begitu diagungkan. Walau belakangan ia terciduk menyembah setan yang dikurung dalam botol, orang-orang kampung tetap menjadikannya suri tauladan sebab tak satu pun orang bisa melangkahi Ma Inyong.
Sore ini, ia berkata begitu lagi di rumah. Bedanya dalam tawa halus dan sopan yang lantas diuntit cemooh pedas dari sang adik laki-laki. Pa Pacet kembali mengolok-ngolok, lantas duduk di sebelahnya. Ma Inyong lagi-lagi diam — lebih tepatnya malas harus bersebelahan dengan orang dongok.
Sepintas kilat menyambar dan disusul pekikan petir yang mengoyak-ngoyak gendang telinga. Rupanya, langit seram tak juga kuasa mengusir dua kakak adik yang anteng duduk di beranda. Rumah itu bertepian dengan jurang, sehingga mereka dapat dengan mudah menonton orang-orang kampung di bawah situ.
Suara saut-sautan terdengar halus. Ma Inyong berdiri, kemudian menciduk dari pembatas beranda. Matanya masih jeli melihat orang-orang yang terlihat kecil di bawah sana.
Satu kampung heboh sudah dibuat si sepuh. Mereka pecah begitu kacau. Sebagian terdiam termenung, sedangkan yang lain meraung pedih teringat dosa, terutama para mucikari kampung dan aki-aki berbadan ringkih. Malam itu, seseorang berjenggot putih memimpin mereka, membentuk barisan seperti pawai-pawai bocah sembari menaiki bukit. Mereka berseru, Allahuakbar!
“Benar-benar kiamat,” ucap Ma Inyong terkekeh.