Pitung tiba di puncak sampah, untuk kemudian mengais tumpukan daun dan plastik busuk dengan tangan mungilnya. Ia terus menggali, siapa tahu ada sisa tanah gembur yang ikut terbawa arus banjir. Sesekali tangannya mendadak tersengat perih. Rupanya tak sengaja mengenai pecahan beling. Pitung mengabaikan luka untuk terus menemukan tanah gembur.
Tidak ada. Yang ada memang cuma lumpur. Ia tak punya pilihan selain menampung lumpur itu kembali ke puncak dan menumpuknya seperti bukit mini. Dengan jari penuh borok dan kotoran, ditanamnya setangkai bunga randa tapak pada lumpur dan tumpukan sampah. “Cantikku akan tumbuh subur,” gumamnya, walaupun ia tahu, di tempat ini, yang lebih mungkin tumbuh adalah penyakit kudis.
Disitulah Pitang Pelitung duduk bersila, di atas tumpukan sampah berlumpur, menatap Si Cantik. Ia tak peduli dengan dunia yang bobrok ini, yang penting dia punya Si Cantik. Ia melamun Si Cantik akan membawanya pada dunia yang surgawi. Dunia yang wangi. Si Cantik akan tumbuh besar dan subur, tak peduli ia dibenamkan pada lumpur jorok. Ia sudah tak sabar untuk menyambut dunia yang wangi. Ia akan terus duduk disitu. Ia akan terus menunggu, sampai Si Cantik tumbuh.
Akankah?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H