Aspek perenungan, menempatkan penyair sebagai pelajar yang dapat kita temukan dalam:
Diammu banyak menyimpan percakapan dalam,
dengan lama tentu menemukan ujung jawaban (VIII : XIII) (Kitab Para Malaikat, 2007: 45).
“Diammu banyak menyimpan percakapan” sebagai kegiatan renungan yang dilakukan dalam menghadapi berbagai fenomena yang telah disaksikan. Seorang penyair dalam mencari “ujung jawaban” lebih cenderung membawa persoalan untuk masuk ke dalam diri sendiri. Di dalam dirinya, fenomena atau masalah itu akan dianalisis, dibicarakan dengan dirinya sendiri untuk mencapai pemahaman, sehingga tidak salah kalau “penyair adalah pelamun yang diterima masyarakat” (Wellek dan Warren, 1995: 92). Perilaku melamun yang dilakukan penyair lebih dimaknai sebagai perbicangan dengan diri sendiri, boleh jadi kalau penyair lebih asyik berdialog dengan dirinya ketika mempelajari suatu fenomena ketimbang dengan manusia lain.
Berdialog dengan diri sendiri untuk mencapai pengetahuan akan suatu realitas lain dari fenomena lingkungan (manusia dan alam) dapat saja disebut sebagai bagian dari penyakit. Semisal, seperti anak yang autis, sibuk dengan dirinya sendiri. Akantetapi, perbedaannya di sini, seorang penyair sedang menempuh suatu mata pelajaran tertentu yang berguru dari alam dan memiliki kawan diskusi yang hanya dirinya sendiri.
Tidak berlebihan juga ketika seorang penyair dikatakan mengalami kegilaan (madness) karena ketika dirinya berdialog dengan dirinya sendiri, penyair terkadang menemukan suatu aspek yang jauh dari rasional bahkan supra-natural (Wellek dan Warren, 1995: 90). Langkah untuk menjadikan alam (kehidupan) secara menyeluruh dan sebagai guru dapat memberikan perkembangan karakter dan jiwa tersendiri yang tercermin di dalam karya yang dihasilkan, seperti:
Lewat nafasmu ke ujung laut berkabut mengatur kelokan arus nasibmu,
telah lama bertahan menghisap puting kepenuhan, selaksa perbicangan waktu,
arah melampaui abad sebelummu (VIII : XVI) (Kitab Para Malaikat, 2007: 45).
Penyair membaktikan hidupnya untuk terus belajar, memahami setiap fenomena (baca: tanda-tanda) untuk diterjemahkan ke dalam sebuah karya. Aktivitas ini bukanlah sebagai sesuatu yang mudah, mengingat bahwa penyair juga seorang manusia biasa yang sama dengan manusia lain, yang memiliki berbagai keinginan (baca: hawa nafsu). Di tengah keadaannya yang sebagai manusia biasa, penyair harus mampu meresapi hakekat dunia dan tanda-tanda yang selalu dihadapi, “lewat nafasmu ke ujung laut berkabut mengatur kelokan arus nasibmu” adalah pekerjaan yang berat.
Tugas yang berat memawa seornag penyair ke dalam pembelajaran sepanjang hayat, yang harus terus berkembang untuk menjawab kehausan jiwanya demi mencapai keutamaan laku hidup. Ibarat ilmu wadah dari ilmu pengetahuan, penyair telah meresapi pengetahuan (pemahaman) dari manusia terdahulu sebagai pijakan awal dalam langkah kakinya. Pemahaman dari manusia terdahulu ini muncul dalam “menghisap puting kepenuhan” yang mana menyiratkan akan penegukan saripati dari Ibu atau orang tua atau manusia yang hidup lebih dahulu. Manusia yang menyusu ibu oleh dalam bait ini terbaca sebagai langkah belajar dari orang tua bijak – perempuan sebagai ibu yang penuh kebijaksanaan.
Penyair tidak hanya mempelajari yang nampak sekarang, akantetapi juga menelusur di masa silam yang tersimbolkan ke dalam dua ungkapan, yaitu “menyusu puting kepenuhan” dan “perbicangan waktu”. Pada simbolisme kedua lebih terbaca sebagai penegas akan usaha dalam memahami ilmu pengetahuan dari orang-orang terdahulu. “Perbincangan waktu” membawa kita dalam sistem yang mana di sana tergambar adanya perbincangan (transfer) ilmu antar waktu, yaitu waktu lampau dan waktu sekarang.
Apabila pengetahuan itu dipandang sebagai sebuah bangunan, seorang penyair telah belajar mengenai bangunan dari manusia terdahulu. Penyair yang bijak adalah belajar dengan cara langsung mempraktekkan, dan pada hasilnya penyair tahu di mana letak kekurangan dari bangunan ilmu pengetahuan manusia terdahulu. Ini proses belajar, yang kemudian penyair pun berusaha menyempurnakan sampai menjadi bangunan dengan struktur yang lebih baik. Oleh karena itu, bangunan (ilmu pengetahuan) disempurnakan untuk menjadi bangunan yang lebih baik, tergambar dalam: “arah melampaui abad sebelummu”.
Selayaknya pelajar yang lain dalam menimba suatu ilmu pengetahuan, penyair pun memiliki sifat yang sama, yaitu ketekunan dalam berusaha dan diiringi kesabaran untuk terus belajar. Penyair sadar dirinya memulai sesuatu dari kecil, dari ketidak-mengertian untuk menjadi mengerti dan menuju ke arah sana membutuhkan adanya proses.
Dia teguh tegar memegang tongkat kesetiaan
demi meniti jalan berkah berkeseimbangan (VIII : XXI) (Kitab Para Malaikat: 45-46).
Bait ini mengambarkan ketekunan dan kesabaran penyair sebagai seorang pelajar yang dituntut untuk tidak lelah. Konsep pembelajaran yang semestinya dipegang oleh seorang penyair adalah pendidikan sepanjang hayat, yaitu sampai dirinya mati. Karena ini, juga didukung kepercayaan yang mungkin seringkali kita dengar, bahwa belajar (dan menulis atau berkarya) sama dengan ibadah. Tujuan dari proses pembelajaran adalah ilmu pengetahuan, sebab ilmu merupakan imam sedangkan amal adalah makmum (Al-Jauziyah, 2009: 393).
Manusia yang berilmu, dia tahu dengan apa yang harus dia lakukan ketika menghadapi tanda-tanda yang terus ada di dalam fenomena kehidupan manusia. Penyair menyadari ini, ilmu juga sebagai pijakan bagi seseorang dalam menentukan perbuatan ketika manusia dihadapkan pada suatu persoalan. Ilmu juga seperti bintang penunjuk yang memberikan arah perjalanan, sehingga ketika manusia teguh dalam usaha untuk terus belajar, maka manusia dapat “meniti jalan berkah berkesimbangan”.
Manusia yang berilmu tahu dengan setiap konsekuensi dari apa yang dia lakukan. Terlebih untuk seorang penyair yang membuat saripati dunia yang termanifestasikan ke dalam karya dan dibaca oleh manusia lain. Tentu saja, karya membawa beban tanggung jawab tersendiri sampai Tuhan Semesta Alam berfirman: “Dan penyair-penyair itu diikuti orang yang sesat. Tidakkah kamu melihat bahwasanya mereka mengembara di tiap-tiap lembah, dan bahwasanya mereka suka mengatakan apa yang mereka sendiri tidak mengerjakan(nya)?” (QS. 26: 224-225). Ilmu membawa pengetahuan akan tanggung jawab pribadi seorang penyair terhadap karya (puisi) yang dihasilkan, sehingga menuntut penyair untuk terus belajar karena ia seorang pelajar.
Dalam proses belajar, penyair tidak harus menjelajahi waktu untuk mencapai pengetahuan. Ibarat rasa sakit, tidak perlu seorang penyair merasakan sendiri bagaimana rasa sakit itu. Jelas tidak perlu seorang penyair membakar dirinya untuk menjabarkan bagaimana panasnya api dan terlebih panasnya balasan orang-orang zalim dengan api neraka. Akantetapi, penyair belajar esensi dari sesuatu hal yang Tuhan Semesta Alam turunkan sebagai tanda-tanda, salah satunya adalah alam di sekitar kita.
Tidak harus mendaki, tenggoklah ujung-ujung ketinggian di setiap pepagi
kabut membumbung ke pegunungan menghiasi pepohon jati, mahoni, trembesi,
kepada randu juga rumpun bebambu hati (VIII : LXI) (Kitab Para Malaikat, 2007: 47).
Belajar dari alam dan belajar kepada kebenaran yang ada di dalam hati manusia itu sendiri dapat mendatangkan pengetahuan akan hakekat kehidupan yang sebenarnya. Alam raya ini, sebenarnya sudah menjadi saksi dan andaikata kita bisa memahami bahasa hewan, tumbuhan, awan, dan lain sebagainya, manusia akan menemukan keindahannya. Misalkan saja, Semut, hewan kecil yang banyak dan sering membuat manusia jengkel karena mengeroyok gula atau minuman manis, semut ini pun sebenarnya bertasbih kepada Allah (Imam Az-Zabibi, 1996: 610).
Simbolisme yang muncul mengenai nama pohon, pagi, bukit atau pun ketinggian mengajak penyair untuk lebih dekat lagi dengan alam. Lebih dekat lagi sebagai usaha memahami dan berkomunikasi dari alam semesta. Pada langit pagi tentang awal kehidupan, atau pada sore hari tentang hari tua manusia. Apabila manusia memahami alur kehidupan alam, manusia akan menemukan ilmu sejati yang bernilai tinggi. Kemudian, “rumpun bebambu hati” menyimbolkan mengenai diri manusia sendiri, yaitu hati. Seperti yang seringkali diucapkan manusia Jawa, “Gusti Allah ada di dalam hati setiap manusia” yang termanifestasikan ke dalam rasa sejati yang tidak pernah mengajak manusia ke dalam hal-hal buruk.